Allcoins.pw

Sunday, 23 November 2014

MAKALAH SEJARAH HAJI ( DINASTI ABBASIYAH )



SEJARAH HAJI ( DINASTI ABBASIYAH ) 

A.     PENDAHULUAN
Pemerintahann dinasti abasiyah dinisbatkan kepada Al-Abbas, paman Rasullulah SAW, sementara khalifah pertama dari pemerintahan ini adalah Abdullah Ash-Shaffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib.
Dinasti Abasiyah didirikan pada tahun 132 H/750 M, oleh Abdul Abbas Ash-Sahafah, dan sekaligus sebagi khalifah pertama. Kekuasaan Dinasti Abbasiyah berlangsung pada waktu rentang yang panjang, yaitu selama lima abad dari tahun 132-656 H (750 M- 1258 M). Berdirinya pemerintahan ini dianggap sebagai kemenangan pemikiran yang perna dikumandangkan oleh bani Hasyim (alawiyun) stelah meninggalnya Rasulullah saw. Dengan mengatakan bahwa yang berhak adalah keturunan rasulullah dan anak-anaknya.
Sebelum berdirinya dinasti abasiyah terdapat tiga poros utama yang merupakan pusat kegiatan, antara satu dengan yang lain memilki kedudukan tersendiri didalam memainkan peranannya menegakkan kekuasaan keluarga besar paman Rasulullah SAW, Abas bin Abbdul Muthalib. Dari nama Al-abbas paman Rasulullah inilah nama ini disandarkan pada tiga tempat pusat kegiatan, yaitu Humaymah, Kufah, dan Khurasan. Humaimah merupakan tempat yang tentram, bermukim ditempat itu keluarga Bani Hasyim, baik dari kalangan penukung Ali maupun pendukung keluarga Abas. Kufah merupakan wilayah yang penduduknya merupakan penganut aliran Syiah, pendukung Ali bin Abi Thalib, yang selalu bergolak dan ditindas oleh Bani Umayah. Khurusan memiliki warga yang pemberani, kuat fisik, teguh pendirian, tidak terpengaruh nafsu dan tidak mudah bingung terhadap kepercayaan yang menyimpang, disanalah diharapakan dakwa kaum Abbasiyah mendapat dukungan.
Dikota Humaimah bermukim keluarga Abbasiyah, salah seorang pimpinanya bernama Al-imam Muhammad bin Ali yang merupakan peletak dasar-dasar bagi berdirinya dinasti Abbasiyah. Ia menyiapkan strategi perjuangan menegakkan kekuasaan atas nama keluarga Rasulullah SAW. Para penerang dakwa Abbasiyah berjumlah seratus orang dibawah para pemimpinya yang berjumlah dua belas orang dan puncak pimpinannya adalah muhammad bin Ali.
B.      PEMBAHASAN

a.      Pengertian Haji
Kata Haji berasal dari bahasa arab dan mempunyai arti secara bahasa dan istilah. Dari segi bahasa berarti menyengaja, dari segi syar’i haji berarti menyengaja mengunjungi Ka’bah untuk mengerjakan ibadah yang meliputi thawaf, sa’i, wuquf dan ibadah-ibadah lainnya untuk memenuhi perintah Allah SWT dan mengharap keridlaan-Nya dalam masa yang tertentu.[1]


b.      Hukum Haji
Mengenai hukum Hukum Ibadah Haji asal hukumnya adalah wajib ‘ain bagi yang mampu. Melaksanakan haji wajib, yaitu karena memenuhi rukun Islam dan apabila kita “nazar” yaitu seorang yang bernazar untuk haji, maka wajib melaksanakannya, kemudian untuk haji sunat, yaitu dikerjakan pada kesempatan selanjutnya, setelah pernah menunaikan haji wajib.
Haji merupakan rukun Islam yang ke lima, diwajibkan kepada setiap muslim yang mampu untuk mengerjakan. jumhur Ulama sepakat bahwa mula-mulanya disyari’atkan ibadah haji tersebut pada tahun ke enam Hijrah, tetapi ada juga yang mengatakan tahun ke sembilan hijrah.
c.       Dalil Perintah Haji
1.          Al-Qur’an

Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 97, yaitu yang artinya :
“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”

2.       Hadits
Nabi bersabda di dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh imam Ahmad yang artinya sebagai berikut :

عن ابي عبد الرحمن وعبد الله ابن عمر ابن الخطاب رضي الله عنهما قل سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول بني الإسلام على خمس, شهادة ان لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وإقام الصلاة وايتاء الزكاة وحج البيت وصوم رمضان. (رواه البخري ومسلم
“Dari Abi Abdurrohman dan ‘Abdullah bin Umar bin Khotob ra. Berkata : saya mendengar Rosulullah saw bersabda, “islam didirikan atas lima dasar, bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan nabi Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat, membayar zakat, haji, dan puasa ramadhan.” (HR. Imam Bukhori dan Imam Muslim).



d.      SYARAT, RUKUN DAN WAJIB HAJI[2]

Syarat Haji
Adapun syarat-syarat wajib melakukan ibadah haji dan umrah adalah :
a)      Islam
b)      Baligh (dewasa)
c)      Aqil (berakal sehat
d)     Merdeka
e)      Mampu (Istitha’ah)

Rukun Haji
Rukun haji dan umrah merupakan ketentuan-ketentuan/perbuatan-perbuatan yang wajib dikerjakan dalam ibadah haji apabila ditinggalkan, meskipun hanya salah satunya, ibadah haji atau umrahnya itu tidak sah. Adapun rukun-rukun haji dan umrah itu adalah sebagai berikut :
a)      Ihram
b)      Wukuf di arafah
c)      Thawaf
d)     Sa’i
e)      Bercukur
f)       Tertib

Wajib Haji
1.      Ihram di Miqat
2.      Mabit di Muzdalifah
3.      Jumrah ‘aqabah
4.      Mabit di Mina
5.      Jumrah di Tiga Tempat
6.      Menjauhi Larangan Ihram

e.       Sejarah Haji[3]
Sejarah Haji tidak bisa terlepas dari sejarah pembangunan Ka’bah seperti yang diperintahkan Allah SWT kepada Nabi Ibrahim as. Ketika Nabi Ibrahim as. selesai membangun Ka’bah, Allah SWT memerintahkannya untuk menyeru manusia agar melaksanakan haji. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman, artinya, “Serukanlah kepada seluruh manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Nabi Ibrahim as berkata kepada Allah SWT, Wahai Tuhan ! Bagaimana suaraku akan sampai kepada manusia yang jauh ?“, Allah SWT berfirman, Serulah ! Aku yang akan membuat suaramu sampai.
Kemudian Nabi Ibrahim as naik ke Jabal Qubays (sebuah bukit di selatan Ka’bah) dan memasukkan jari tangannya ke telinganya sambil menghadapkan wajahnya ke Timur dan Barat beliau berseru, Wahai sekalian manusia telah diwajibkan kepadamu menunaikan ibadah haji ke Baitul Atiq, maka sambutlah perintah Tuhanmu Yang Maha Agung. Seruan tersebut telah didengar oleh setiap yang berada dalam sulbi laki-laki dan rahim wanita. Seruan itu disambut oleh orang yang telah ditetapkan dalam ilmu Allah SWT bahwa ia akan melaksanakan haji, sampai hari Kiamat mereka berkata, LABBAIK ALLAAHUMMA LABBAIK, artinya, Telah saya penuhi panggilan-Mu, Ya Allah! Telah saya penuhi panggilan-Mu.
Seusai Nabi Ibrahim as menyeru manusia untuk melaksanakan haji, malaikat Jibril as mengajaknya pergi. Kepada beliau diperlihatkan bukit Safa, Marwah dan perbatasan tanah Haram, lalu diperintahkan untuk menancapkan batu-batu pertanda. Ibrahim as adalah orang yang pertama menegakkan batasan tanah Haram setelah ditunjukkan oleh malaikat Jibril as. Pada tanggal 7 Zulhijah, Nabi Ibrahim as berkhutbah di Mekah ketika matahari condong ke Barat (tergelincir), sementara Nabi Ismail as duduk mendengarkan. Pada esok harinya, keduanya keluar berjalan kaki sambil bertalbiyah dalam keadaan berihram. Masing-masing membawa bekal makanan dan tongkat untuk bersandar. Hari itu dinamakan hari Tarwiah.
Di Mina, keduanya melaksanakan salat Zuhur, Asar, Magrib, Isya dan Subuh. Mereka tinggal di sebelah kanan Mina sampai terbit matahari dari gunung Tsubair (waktu Dhuha), kemudian keduanya keluar Mina menuju Arafah. Malaikat Jibril as menyertai mereka berdua sambil menunjukkan tanda-tanda batas sampai akhirnya mereka tiba di Namirah. Malaikat Jibril as menunjukkan pula tanda-tanda batas Arafah. Nabi Ibrahim as sudah mengetahui sebelumnya lalu berkata, : عَرَفْتُ ,artinya: Aku sudah mengetahui, maka daerah itu dinamakan Arafah.
Ketika tergelincir matahari, malaikat Jibril as bersama keduanya menuju suatu tempat (sekarang tempat berdirinya Masjid Namirah), kemudian Nabi Ibrahim as berkhutbah dan Nabi Ismail as duduk mendengarkan, lalu mereka salat jamak taqdim Zuhur dan Asar. Kemudian malaikat Jibril as mengangkat keduanya ke bukit dan mereka berdua berdiri sambil berdoa hingga terbenam matahari dan hilang cahaya merah. Kemudian mereka meninggalkan Arafah berjalan kaki hingga tiba di Juma‘ (daerah Muzdalifah sekarang). Mereka salat Maghrib dan Isya di sana, sekarang tempat jamaah haji melaksanakan salat. Mereka bermalam di sana hingga terbit fajar keduanya diam di Quzah. Sebelum terbit matahari, mereka berjalan kaki hingga tiba di Muhassir. Di tempat ini mereka mempercepat langkahnya. Ketika sudah melewati Muhassir, mereka berjalan seperti sebelumnya. Ketika tiba di tempat jumrah, mereka melontar jumrah Aqabah tujuh kerikil yang dibawa dari Juma’. Kemudian mereka tinggal di Mina pada sebelah kanannya, lalu keduanya menyembelih hewan kurban di tempat sembelihan. Setelah itu memotong rambut dan tinggal beberapa hari di Mina untuk melontar tiga jumrah pulang bali saat matahari mulai naik. Pada hari Shadr, mereka keluar untuk salat Zuhur di Abthah. Itulah ritual ibadah haji yang ditunjukkan oleh malaikat Jibril as sesuai permintaan Nabi Ibrahim as, …..tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami….” (QS Al Baqarah : 128).
Sejarah Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as di Makkah
PERINTAH ibadah haji sebagai seruan Nabi Ibrahim as dilakukan segera setelah Ibrahim as beserta putranya Ismail as menyelesaikan pembangunan Ka’bah. “Monumen” bagi keduanya kini adalah Maqam Ibrahim dan Hijr Ismail. Pembangunan Baitullah ini dilakukan oleh Ibrahim as ketika beliau datang ke Mekah untuk yang kelima kalinya sekaligus yang terakhir. Lalu saat peristiwa apa saja Ibrahim as ke Makkahh ? 
Pertama : Mengantar Siti Hajar dan Ismail
Ibrahim as, Siti Hajar, dan Ismail as berangkat dari Hebron bergerak ke arah tenggara menyusuri rute kafilah yang dikenal sebagai rute wewangian (incense route) sejauh  1.200 km dan tiba di lembah tandus pegunungan Sirat yang puncak-puncaknya meliputi Jabal Ajyad, Jabal Qubais, Jabal Qu’aiq’an, Jabal Hiro, dan Jabal Tsur. Lembah itu bernama Bakkah (Mekah). Siti Hajar dan Ismail as diantarkan ke Mekah karena istri tua Ibrahim Siti Sarah mencemburui Hajar yang telah memberikan putra kepada Ibrahim. Atas perintah Allah SWT Siti Hajar dan putranya ditinggal di bawah sebuah pohon oleh Ibrahim as yang kembali ke Palestina menemui Sarah. Nabi Ibrahim as berdoa menengadahkan tangan, menyebut nama Allah, menitipkan Siti Hajar dan Ismail as di bawah perlindungan dan keselamatan Allah SWT.
Saat air susu habis dan tak ada air, Siti Hajar menaiki bukit Shafa mencari air untuk putranya atau kalau-kalau ada kafilah yang dapat membantu. Ketika tak ada siapapun yang lewat, Siti Hajar berjalan menuruni bukit, lembah, dan mendaki ke bukit Marwah. Melihat ke sekeliling namun tak ada apa-apa pula. Tujuh kali balik dilakukan, hingga akhirnya Allah mengeluarkan air zamzam di tempat Ismail ditinggalkan. Kelak inilah yang mendasari prosesi haji yang bernama Sai.
Kedua: Menyembelih Ismail as
Saat Ismail berusia 11-12 tahun, Ibrahim as menemui keluarganya di Mekah yang telah berubah dibandingkan situasi saat pertama datang. Baru saja melepas rindu, Allah SWT. memerintahkan melalui mimpi agar menyembelih Ismail as.
Meskipun mengalami kegalauan, namun akhirnya berkat ketaatan Ibrahim as dan kesabaran Ismail as, yaa abati af’al maa tu’maru – wahai ayahku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, maka perintah itu dapat dilaksanakan. Allah pun menggantikannya dengan sembelihan Qibas (salah satu jenis kambing).
Soal ujian pengorbanan dalam bentuk apapun, Allah sebenarnya tidak bermaksud menganiaya hamba-hamba-Nya, melainkan sekadar “sarana” untuk meningkatkan mutu keimanan dan amal salehnya semata. Dalam ibadah haji, penyembelihan hewan “hadyu” ini dilaksanakan setelah Jumratul Aqabah atau pada hari-hari tasyrik.
Ketiga: Mengganti palang pintu rumah
Setelah Ismail as berumah tangga dengan memperistri wanita dari suku Jurhum dan Siti Hajar telah meninggal, Ibrahim as datang bersilaturahmi. Namun tidak bertemu dengan putranya karena sedang berburu dalam waktu yang cukup lama. Hanya menantunya yang ada, namun Ibrahim merahasiakan identitas dirinya. Ketika ditanyakan bagaimana keadaan rumah tangga mereka, istri Ismail as tersebut mengeluh tentang kesulitan dan kemiskinan hidup mereka, serta tak ada kebahagiaan sama sekali. Ketika pamit, Ibrahim berpesan kepada menantunya jika Ismail pulang sampaikan salam dan disarankan agar mengganti palang pintu rumahnya. Ketika Ismail as kembali, lalu mendengar cerita istrinya tentang kedatangan tamu beserta pesan-pesannya itu, maka Nabi Ismail as mengerti. Kemudian ia segera menceraikan istrinya yang dinilai rewel, tak bersyukur atas nikmat yang Allah berikan, tidak sabar, serta tidak menghargai usaha suaminya tersebut.
Keempat: Mempertahankan palang pintu rumah
Setahun setelah kedatangan ketiga, Ibrahim as datang lagi ke Mekah untuk menemui putranya, lagi-lagi tak bertemu. Hanya istri Ismail as yang baru yang ditemui. Ia adalah putri sekh suku Jurhum yang bernama As Sayyidah binti Madad bin Amr. Sebagaimana yang lalu, Ibrahim as yang menyembunyikan identitas dirinya, menanyakan pula keadaan rumah tangga mereka.
Ibrahim berdoa Ya Allah berkahi daging dan air mereka.” (HR Bukhori). Seraya berpesan apabila suaminya pulang nanti agar palang pintunya tak perlu diganti. Demikianlah istri saleh yang senantiasa bersyukur dan tak pernah mengeluh atas hasil usaha suaminya.
Meskipun kedatangan ketiga dan keempat tidak berhubungan dengan ibadah haji, namun bangunan rumah tangga merupakan indikator kesuksesan haji. Hal ini sejalan dengan doa agar sekembalinya dari melaksanakan ibadah haji senantiasa mendapat perlindungan Allah dari “suu il munqolabi fiil maali wal ahli” (kejelekan harta dan keluarga).

Kelima: Membangun Ka’bah
Tanah yang menggunduk agak tinggi dekat sumur zamzam adalah lokasi pilihan “Ini adalah tempat yang dipilih Allah,” kata Ibrahim as kepada Ismail as (HR Bukhari), lalu keduanya membangun Ka’bah itu. Berbeda dengan bangunan Ka’bah sekarang, dahulu Ka’bah lebih pendek, tak berpintu, serta memanjang meliputi Hijr Ismail sekarang. Ada dua batu istimewa dalam proses pembangunan tersebut, yaitu Hajar al Aswad dan Maqam Ibrahim. Nantinya dalam ritual haji Hajar Aswad menjadi tempat mengawali dan mengakhiri tawaf. Setiap melewatinya mengecup atau ber-istilam. Adapun setelah tawaf, jemaah haji mesti salat 2 (dua) rakaat di belakang Maqam Ibrahim. Allah SWT pun berfirman, dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang tawaf, orang-orang yang beribadah, dan orang-orang yang ruku-sujud.” (QS Al Hajj 26).
Kita mengira bahwa Ibrahim as akan meluangkan waktu panjang di Mekah, namun nyatanya tidak, setelah Ka’bah dibangun, Ibrahim as kembali ke Bersyeba Palestina. Sebelumnya itu, Allah menyuruh Ibrahim as untuk mengumumkan kewajiban ibadah haji, berziarah ke Baitullah dengan tata cara (manasik) yang diajarkan Allah kepada Ibrahim a.s, “…..tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami…. (QS Al-Baqarah :128) dan Allah berfirman,serulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang dengan berjalan kaki, mengendarai unta kurus, datang dari segenap penjuru yang jauh“. 
·         MASA NABI MUHAMMAD SAW
Dari segi sejarah, ibadah haji seperti yang sekarang ini merupakan syariat yang dibawa oleh Nabi  Muhammad SAW, sebagai langkah memperbaharui dan menyambung ajaran Nabi Allah Ibrahim as. Ibadah haji mula diwajibkan ke atas umat Islam pada tahun ke-6 Hijrah, mengikuti turunnya QS Al-Imran 97, artinya : ….. mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”
Pada tahun tersebut, Rasulullah SAW bersama-sama lebih kurang 1500 orang berangkat ke Makkah untuk menunaikan fardhu haji tetapi tidak dapat mengerjakannya karena dihalangi oleh kaum kafir Quraisy sehingga melahirkan satu perjanjian yang dinamakan Perjanjian Hudaibiah. Perjanjian itu membuka jalan bagi perkembangan Islam di mana pada tahun berikutnya ( tahun ke-7 Hijrah ), Rasulullah telah mengerjakan Umrah bersama-sama 2000 orang umat Islam. Pada tahun ke-9 Hijrah, barulah ibadah Haji dapat dikerjakan di mana Rasulullah SAW menyerahkan kepada Saidina Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk memimpin 300 orang umat Islam mengerjakan haji. 

·         Rasulullah SAW mengerjakan haji
Nabi Muhammad SAW telah menunaikan fardhu haji sekali saja dan umroh 4 kali semasa hayatnya. Haji itu dinamakan Hijjatul Wada/ Hijjatul Balagh/ Hijjatul Islam atau Hijjatuttamam Wal Kamal kerana selepas haji itu tidak berapa lama kemudian beliau pun wafat. Beliau berangkat dari Madinatul Munawwarah pada hari Sabtu, 25 Zulqo’dah tahun 10 Hijrah bersama isteri dan sahabat-sahabatnya bersama kurang lebih 90,000 orang Islam. Setelah menginap satu malam di Zulhulaifah, sekarang dikenali dengan nama Bir Ali, 10 km dari Madinah, esoknya Nabi mengenakan pakaian ihram diikuti seluruh anggota rombongan. Mereka berjalan bersama-sama dengan pakaian putih yang sederhana, perlambang kesederhanaan dan persamaan yang amat jelas. 
Dengan seluruh kalbu Muhammad SAW menengadahkan wajahnya kepada Tuhan sembari mengucapkan talbiyah sebagai tanda syukur atas nikmat karunia-Nya diikuti kaum muslimin di belakangnya: “Labbaik Allahumma Labbaik,Labbaika laa syarikka laka labbaik, Innal haamda wanni’mata laka wal mulk Laa syariika laka“, artinya : “Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah, Aku datang memenuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Nya, Ya Allah aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji dan kebesaran untuk-Mu semata-mata.Segenap kerajaan untuk-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu”.Di bawah sengatan matahari gurun, di padang pasir yang tidak dikenal banyak umat, bergerak arus manusia dan kafilah menuju satu titik. Mereka menyambut panggilan Nabi Ibrahim as beberapa abad silam. Tidak ada peristiwa yang membedakan seseorang dengan lainnya. Tidak pula perbedaan ras, bangsa atau warna kulit. Sesungguhnya, inilah pemandangan paling indah tentang asas persamaan bahwa semua makhluk sama di depan Tuhan. Yang membedakan, hanya kadar iman dan takwa seseorang. Mereka memenuhi seruan Nabi untuk saling mengenal, merajut kasih sayang, keikhlasan hati dan semangat ukhuwah islamiah. Dengan penuh kesabaran pula mereka menanti tibanya Haji Akbar, dan rasa rindu bertemu Baitullah, dengan jantung berdegup keras.
Pada tanggal 4 Dzulhijjah rombongan masuk Makkah, selanjutnya Nabi menuju Ka’bah, melakukan thawaf dan mencium Hajar Aswad. Sesudah tawaf, Nabi shalat dua rakaat di Maqam Ibrahim, lalu mencium Hajar Aswad untuk kedua kalinya. Kemudian menghadapkan wajahnya ke arah bukit Shafa, lalu lari-lari kecil antara bukit Shafa dan bukit Marwah. Di situ dimaklumatkan barangsiapa yang tidak membawa hadyu (ternak kurban untuk disembelih) hendaknya mengakhiri ihramnya (tahallul) dan menjadikan ibadah itu sebagai umrah. Awalnya maklumat itu dilaksanakan tanpa sepenuh hati. Nabi marah, sampai-sampai beliau kembali ke kemahnya. “Bagaimana aku tidak marah, aku menyuruh mereka melakukan sesuatu, tapi mereka tidak menaatiku,” jawab Nabi atas pertanyaan Aisyah. Namun akhirnya seluruh rombongan menyesali perbuatannya. Mereka segera ber-tahallul seperti yang dilakukan Fathimah putri Nabi, dan semua istrinya. 
Hari ke-8 Zulhijjah yaitu Hari Tarwiyah, beliau pergi ke Mina bersama rombongannya. Selama satu hari melakukan shalat dan tinggal bersama kaumnya. Malamnya di saat sang fajar menyembul setelah Shalat Subuh, dengan menunggang untanya al-Qashwa’, tatkala matahari mulai tampak, beliau menuju Padang Arafah. Dalam perjalanan yang diikuti ribuan muslim yang mengucapkan talbiyah dan bertakbir, Nabi mendengarkan dan membiarkan mereka dalam kekhusyu’an. Pada tanggal 09 Zulhijjah yang jatuh pada hari Jumaat, Rasulullah SAW melakukan wukuf di Arafah. Ketika berada di perut wadi di bilangan Urana, masih di atas unta, Nabi berdiri dan berkhutbah di depan lebih 90.000 orang yang mengelilinginya. Itulah peristiwa bersejarah yang dikenal dengan julukan “Al-Hijjatul Wada” atau “Haji Perpisahan’. Peristiwa yang begitu mengesankan dan indah, serta merupakan khulasha (kesimpulan) ajaran Islam dan sunnahnya yang ia wariskan kepada masyarakat Islam. Khutbah berlangsung di bawah panas matahari yang mampu membakar ubun-ubun, dan didengarkan dengan khidmat. Kepada Umayyah bin Rabi’ah bin Khalaf diminta mengulang keras setiap kalimat yang beliau sampaikan, agar didengar di tempat yang jauh. Sore harinya, rombongan Rasulullah SAW bergerak ke arah Muzdalifah untuk bermalam di sana. Menjelang fajar, rombongan menuju ke Mina untuk melakukan pelemparan jumroh kubro (Aqabah), menyembelih ternak kurban. Kemudian menuju Baitullah untuk melaksanakan thawaf Ifadha’ dan kembali lagi ke Mina untuk melanjutkan pelemparan jumroh 
Catatan : melempar jumrah berawal dari mimpi Nabi Ibrahim as yang diperintah untuk menyembelih putranya Ismail as, dimana pada awalnya beliau tidak percaya akan mimpi itu, namun karena selalu datang berturut-turut, karena yakin akan kebenaran mimpi itu Ibrahim as melaksanakan perintah itu dengan membawa Ismail as melewati tiga tempat dimana beliau diganggu agar mengurungkan niatnya, namun atas petunjuk Allah diketahui bahwa mereka yang mengganggu adalah syetan, sampai Ibrahim as melempar batu di tiga tempat itu. Dalam rangkaian ibadah haji dikenal dengan Jumrah Ula, Wustha dan Aqabah.
Rasulullah SAW telah menyempurnakan semua rukun dan wajib haji hingga tanggal 13 Zulhijjah. Dan pada tanggal 14 Zulhijjah, Rasulullah SAW berangkat meninggalkan Makkah Al-Mukarramah kembali menuju Madinah Al-Munawwarah.
f.       Sejarah Haji Pada Masa Dinasti Abbasiah
    Sejarah berdirinya Dinasti Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah merupakan kelanjutan dari Dinasti Umayyah. Nama dinasti Abbasiyah diambil dari salah seorang dari paman Nabi Muhammad SAW yang bernama Al-Abbas Ibn Abd Al-Muthalib Ibn Hasyim. Orang Abbasiyah merasa lebih berhak daripada Bani Umayyah atas kekhalifahan Islam, karena mereka adalah cabang dari Bani Hasyim yang secara nasab keturunan yang lebih dekat dengan Nabi. Menurut mereka, orang Umayyah secara paksa menguasai khalifah melalui tragedi perang Siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan Dinasti Abbasiyah mereka mengadakan pemberontakan terhadap Dinasti Umayyah. Telah dijelaskan, bahwa saat kekhalifahan Umayyah dipegang Umar II, gerakan bawah tanah yang merupakan ritual politiknya menyusun kekuatan. Salah satu kekuatan politik yang kontra dengan kebijakan “Machiavellian” model Umayyah adalah para pengikut Nabi yang merupakan keturunan Bani Abbas . Tetapi, sebagai keluarga Abbas, tetapi menggunakan jargon dan simbol Bani Hasyim. Dengan demikian mereka dapat merangkul baik kelompok Syi’ahtu Ali maupun Syi’ahtu Abbas. Kedua kelompok inilah yang pada akhirnya melandasi berdirinya Dinasti Abbasiyah. Kekuasaan Dinasti Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang cukup panjang , yaitu dario tahun 132 H/750 M sampai 656 H/1258 M.[4]

Faktor-faktor berdirinya Dinasti Bani Abbasiyah dan Penyebab Suksesnya[5]
1.      Banyaknya terjadi perselisihan antara intern bani Umayyah pada masa tereakhir masa pemerintahannya, peyebabnya ialah memperebutkan kursi kekhalifahan dan harta.
2.      Singkatnya masa jabatan khalifah di akhir-akhir pemerintahan Bani Umayyah.
3.      Dijadikannya putra mahkota lebih dari jumlah satu orang.
4.      Bergabungnya sebagian keluarga Umawi kepada mazhab-mazhab agama yang tidak benar menurut syariat.
5.      Pudarnya kecintaan rakyat pada akhir-akhir pemerintahan Bani Umayyah.
6.      Banyaknya pembesar-pembesar Bani Umayyah yang sombong pada akhir pemerintahannya.
7.      Timbulnya dukungan dari al-Mawali.

g.      Haji Pada Masa DInasti Abbasiyah
Mekah pada zaman dinasti Abassiyah dibagi menjadi 3 zaman 3 fase. Dinasti abassiyah ini menguasai pemerintahan islam baik Madinah dan Mekkah mulai tahun 749 M (132 H) sampai dengan tahun 1258 M (656 H).
Masing-masing fase pada zaman abassiyah ini mewakili apa yang terjadi pada masa tersebut.[6]

Fase Keterikatan dengan Abbasiyin

Fase dinansti Abaasiyah  adalah mulai tahun 132 H hingga tahun 363 H. Pada masa ini ketenangan Mekah al Mukarromah datang silih berganti dengan kegoncangan politik. Pada fase ini terjadi pemberontakan awaliyyin yaou pemberontakan yang diciptakan oleh orang-orang keturunan Ali. Pemberontakan-pemberontakan yang mereka lancarkan selalu tidak berhasil dan hanya membuat kegoncangan politik Mekah Al Mukarromah.
Lain halnya pada masa berhaji - dalam masa ini masa berhaji merupakan masa yang mendatangkan kenyamanan untuk penduduk Mekah. Harta-harta banyak dibagikan oleh pejiarah haji, khususnya yang berasal dari khalifah abbasiyin.
Pada masa pemerintahan Abbassiyin banyak sekali peninggalan-peninggalan sejarah yang bisa dilihat oleh kaum muslim seluruh dunia hingga saat ini.
  1. Pembangunan Mata Air Zubaidah, yaitu mata air yang langsung dialirkan dari Irak ke Padang Arafah. Pembahasan mendetail mengenai hal ini akan dibuat terpisah
  2. Pemakmuran dan Perluasan Masjidil Haram
  3. Perluasan Abu Ja'far al manshur dan Al Mahdi
Kejadian penting pada masa dinasti Abassiyin di Mekah adalah dicurinya Hajar Aswad oleh para kelompok syiah golongan Qaromithah dan para pendukung Fathimiyin yaitu sekitar tahun 317 H atau sekitar tahun 930 Masehi. Kejadian penting lainnya pada masa ini adalah diserahkannya pemerintahan Mekah dan Madinah ke bangsa Mesir khususnya ke Akhsyadiyyin pada tahun 331 H. Pada masa tersebut Mekah mengalami kekacauan yang teramat sngat dikarenakan peperangan yang dilakukan oleh kaum Akhyadiyyin dengan Bani Ro'iq. Akibat peperangan tersebut rakyat Mekah hidup menderita selain kekacauan demi kekacauan terjadi dimana-dimana. Akibat hal ini dikeluarkanlah larangan untuk melaksanakan Ibadah Haji selama 6 tahun yaitu tahun 332 Hijriah sampai dengan tahun 338 Hijriah.
Fase Keterikatan Dengan Fathimiyin
Fase ini terjadi pada tahun 358 H sampai dengan 546 H. Pada Masa ini Mekah mengalami zaman yang sangat mengkhawatirkan. Dimana pada fase ini semua bidang keilmuan melemah, antar pemuka agama islam tercerai berai, harga-harga naik tidak terkendali, pajak tinggi diwajibkan kepada para Jamaah haji.
Fase ini dimulai sejak runtuhnya Akhsyandiyyah di Mesir ke tangan Fathimiyin. Sejak itu kekuasaan Mekkah dipegang dan dibangunlah pemerintahan Asyraf di kota Mekah. Asyraf adalah Keturunan nabi Muhammad SAW dari Fathimah. Golongan Asyrah dan pemuka islam di kota Mekkah tunfuk ka Fathimiyin hanyalah merupakan formalitas belaka.
Pemerintahan yang dijalankan Fathimiyin dinilai gagal oleh rakyat arab, sehingga mereka tidak mempercayai akan pemerintahan yang berkuasa - namun akibat ketakutan dan kekacauan, diterimanya hadiah-hadiah dari golongan Fathimiyin dan berdoa untuk golongan Fathimiyin di mimbar-mimbar adalah merupakan formalitas belaka.
Fase Keterikatan dengan Zinkiyin dan Ayyubiyin
Pada masa ini rakyat Mekah mulai merasakan kedamaian kembali. Sulthan Nuruddin Zinki sangat peduli terhadap kehidupan rakyat Mekah pada saat itu. Pada zaman Zinkiyin ini  dikirimlah harta yang berlimpah ke kota Mekkah untuk pembiayaan infrastruktur kota Mekkah seperti perbaikan-perbaikan jalan untuk sarana ibadah haji, dan perbaikan lain dalam sektor pembangunan.
Masa ini dilanjutkan oleh Sholahuddin al Ayyubi. Malah pada masa ini selain pemerintahan meneruskan kebijakan dari pemerintah Zinkiyin yang berkuasa sebelumnya, Ayyubiyin menambah gebrakan baru dengan mengirimkan harta yang banyak kepada kabilah dagang sebagai ganti dari pembayaran Pajak untuk para jamaah haji. Pada masa ini para Jamaah haji sudah mulai terbebas dari pungutan pajak.

C.      Kesimpulan
Terjadi tiga fase yang penting yang mempengaruhi haji pada masa dinasti abbasiyah, yaitu :
1.      Fase Keterikatan dengan Abbasiyin
2.      Fase Keterikatan Dengan Fathimiyin
3.      Fase Keterikatan dengan Zinkiyin dan Ayyubiyin















DAFTAR PUSTAKA
 Aziz, abd, 1991, Fiqih, (Semarang:Wicaksana)
Karim, Abdul, 2007, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher)
Nizar , Samsul, 2007, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana)


[1] Rs. Abd. Aziz,Fiqih, (Semarang:Wicaksana,1991), hal. 25
[2] Miftah Faridl, antar aku ke tanah suci, (Depok : 2007,Gema Insani) Hlm.389
[3] http://manasikhaji-mandiri.com/index.php/joomlaorg/sejarah-haji di akses pada tanggal 14 november 2014 pada pukul 22.00
[4] Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hal. 143.
[5] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 66.
[6] http://www.rumahallah.com/2012/08/mekah-zaman-dinasti-abbasiyah.html di akses tanggal 14 november 2014 pukul 22.00 wib

No comments:

Post a Comment

contact form

Name

Email *

Message *