Allcoins.pw

Sunday, 23 November 2014

Makalah Sejarah Zakat Pada Masa Khulafaurrasyidin



SEJARAH ZAKAT PADA MASA KHULAFAURRASYIDIN
A.     Pendahuluan
Rukun Islam yang keempat, membahas tentang kajian zakat, zakat merupakan pembagian sebagian harta yang dimiliki untuk mensucikan jiwa, zakat terbagi menjadi 2 bagian yaitu zakat fitrah yang dikeluarkan oleh setiap orang muslim di bulan Ramadhan, dan Zakat Maal yang dikeluarkan oleh orang muslim yang memiliki kelebihan harta dan berlaku syarat tertentu.
Zakat merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam yang digunakan untuk membantu masyarakat lain, menstabilkan ekonomi masyarakat dari kalangan bawah hingga kalangan atas, sehingga dengan adanya zakat umat Islam tidak ada yang tertindas karena zakat dapat menghilangkan jarak antara si kaya dan si miskin. Oleh karena itu, zakat sebagai salah satu instrumen negara dan juga sebuah tawaran solusi untuk menbangkitkan bangsa dari keterpurukan. Zakat juga sebuah ibadah mahdhah yang diwajibkan bagi orang-orang Islam, namun diperuntukan bagi kepentingan seluruh masyarakat.
Zakat merupakan suatu ibadah yang dipergunakan untuk kemaslahatan umat sehingga dengan adanya zakat (baik zakat fitrah maupun zakat maal) kita dapat mempererat tali silaturahmi dengan sesama umat Islam maupun dengan umat lain.
Pada zaman khalifah, zakat dikumpulkan oleh pegawai sipil dan didistribusikan kepada kelompok tertentu dari masyarakat. Kelompok itu adalah orang miskin, janda, budak yang ingin membeli kebebasan mereka, orang yang terlilit hutang dan tidak mampu membayar. Syari'ah mengatur dengan lebih detail mengenai zakat dan bagaimana zakat itu harus dibayarkan.
Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah seperti salat, haji, dan puasa yang telah diatur secara rinci berdasarkan Alquran dan Sunah. Zakat juga merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ummat manusia dimana pun.

B.      Pengertian Zakat
Zakat adalah salah satu rukun Islam. Zakat secara bahasa berarti tumbuh dan bertambah. Dan menurut syari’at berarti sedekah wajib dari sebagian harta. Sebab dengan mengeluarkan zakat, maka pelakunya akan tumbuh   mendapat kedudukan tinggi    di sisi Allah SWT dan menjadi orang yang suci serta disucikan.[1] Juga bisa berarti berkah, bersih, suci, subur, dan berkembang maju. Dapat kita ambil kesimpulan bahwa kita sebagai umat muslim telah diwajibkan oleh Allah SWT untuk mengeluarkan zakat, seperti firman Allah SWT:
 
 Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Rasul, supaya kamu diberi rahmat”. (QS An-Nur 56).

Dalam buku lain juga disebutkan, salah satu tugas ekonomi penting kaum muslimin adalah zakat. Al-Quran menyebutkan zakat setelah menyebutkan sholat ini menunjukkan betapa pentingnya masalah zakat karena ia merupakan tanda keimanan seseorang dan modal keselamatannya.[2]
Dalam ayat yang lain, Allah menjelaskan bahwa orang yang mentaati perintah Allah khususnya dalam menunaikan zakat, niscaya Allah akan memberikan rahmat kepada kita dan kita akan dikembalikan kepada kesucian atau fitrah seperti bayi yang baru dilahirkan ke muka bumi ini atau seperti kertas putih yang belum ada coretan-coretan yang dapat mengotori kertas tersebut, seperti firman-Nya:

 Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu bersihkan dan sucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya dosa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS At-Taubah 103).

Zakat itu wajib dharurah dalam agama. Dan yang mengingkarinya dianggap telah keluar dari Islam. Imam Shadiq berkata, “Sesungguhnya Allah telah menyediakan bagi para fuqara harta yang dapat mencukupi hidup mereka di dalam harta orang-orang kaya. Jika Allah mengetahui bahwa hal itu tidak mencukupi, tentu Allah akan menambahnya.
Mereka menjadi fuqara bukan karena tidak ada bagian dari Allah untuk mereka, tetapi karena orang-orang kaya itu tidak mau memberikan hak para  fuqara tersebut. Seandainya setiap orang kaya menunaikan kewajiban mereka, maka para fuqara akan hidup dengan baik”.[3] Adapun orang-orang yang berkewajiban mengeluarkan zakat yaitu harus baligh, berakal, dan hartanya milik penuh.

C.      Zakat Pada Masa Pemerintahan Khulafaurrasyidin
1.      Masa Khalifah Abu Bakar Ashidiq
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, kepemimpinan umat Islam diserahkan kepada Khalifah Abu Bakar Ashidiq. Di masa pemerintahan Abu Bakar, zakat dilakukan dengan merujuk kepada cara-cara pengelolaan zakat yang dilakukan Rasulullah SAW. Namun, persoalan baru muncul, ketika ada orang atau kelompok yang enggan membayar zakat, di antaranya Musailamah Al-Kadzdzab dari Yamamah dan Sajah Tulaihah.[4]
Masalah ini berakar dari pemahaman sebagian umat Islam bahwa perintah zakat yang tertuang dalam surat At-Taubah ayat 103:
  
“Ambilah sedekah (zakat) dari harta mereka, dari zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka,” bermakna hanya Nabi yang berhak memungut zakat, karena beliaulah yang diperintahkan untuk memungut pajak.

Mereka juga menilai hanya pemungutan yang dilakukan Nabi yang dapat membersihkan dan menghapuskan dosa mereka. Dengan demikian, zakat hanya menjadi kewajiban mereka ketika Rasullulah masih hidup, dan ketika rasul telah wafat maka mereka terbebas dari kewajiban berzakat tersebut.
Pandangan tersebut jelas keliru. Menyikapi hal itu, Abu Bakar mengambil kebijakan tegas dengan memerangi mereka. Bagi Abu Bakar mereka dianggap telah murtad. Pada awalnya, kebijakan Abu Bakar ini ditentang oleh Umar bin Khattab. Umar bin Khattab berpegang kepada hadis nabi yang menyatakan, “Saya diutus untuk memerangi manusia sampai ia mengucapkan kalimat La llahaillah”.[5]
Bagi Umar, dengan masuk Islam yang dibuktikan dengan mengucapkan lafaz syahadat, sudah menjamin bahwa darah dan kekayaan seseorang berhak memperoleh perlindungan.
Akan tetapi Abu Bakat beragumen bahwa teks hadis di atas memberi syarat terjadinya perlindungan tersebut, yaitu, “kecuali bila terdapat kewajiban dalam darah dan kekayaan itu.”
Zakat adalah yang harus ditunaikan dalam kekayaan. Abu Bakar juga menganalogikan zakat dengan sholat, karena pentasyri’an keduanya memang sejajar. Argumen tersebut akhirnya dapat diterima oleh Umar.
Dan Abu Bakar pun beragumentasi pada Alquran, dimana negara diberikan kekuasaan untuk memungut secara paksa zakat dari masyarakat yang akan dipergunakan kembali sebagai dana pembangunan negara.
Ketegasan sikap Abu Bakar, dalam hal ini betul-betul merupakan suatu sikap yang membuat sejarah yang tidak ada tandingannya. Dia tidak dapat sama sekali menerima pemisahan antara ibadah jasmaniah (salat) dari ibadah kekayaan (zakat) dan tidak dapat pula menerima pengurangan sesuatu yang pernah diserahkan kepada Rasulullah, walaupun hanya berupa seekor kambing ataupun anaknya.
Pembangkangan orang-orang yang mengangkat dirinya menjadi nabi palsu dan sudah dirasakan bahayanya di Madinah pun tidak terlepas dari tindakan tegasnya. Dia tidak mundur sedikitpun dari tekadnya untuk memerangi mereka, sehingga setiap warga negara yang melakukan pembangkangan tidak mau membayar zakat, pemerintah dapat melakukan penyitaan terhadap aset yang dimiliki.
Demikianlah tindakan Abu Bakar sebagai khalifah pertama terhadap orang-orang yang membangkang untuk tidak membayar zakat. Demikian pula bagaimana sikap para sahabat utama, termasuk mereka yang pada mulanya tidak setuju, sepakat bahwa pembangkang-pembangkang itu harus diperangi karena keengganan mereka membayar salah satu ibadah utama dalam Islam.
Dengan demikian, memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat merupakan salah satu masalah konsensus (ijma’) dalam hukum Islam. Negara Islam dalam periode Abu Bakar, pertama kali melancarkan perang untuk membela hak-hak fakir miskin dan golongan-golongan ekonomi lemah.
Setelah dilakukan pembersihan terhadap semua pembangkang zakat, Abu Bakar pun memulai tugasnya dengan mendistribusikan dan mendayagunakan zakat bagi orang-orang yang berhak menerimanya, menurut cara yang dilakukan Rasullulah. Dia sendiri mengambil harta dari Baitul Mal menurut ukuran yang wajar dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya, dan selebihnya dibelanjakan untuk persediaan bagi angkatan bersenjata yang berjuang di jalan Allah.
Dalam soal pemberian, Abu Bakar tidak membedakan antara terdahulu dan terkemudian masuk Islam. Sebab kesemuanya berhak memperoleh zakat apabila kondisi kehidupannya membutuhkan serta masuk dalam kelompok Asnaf penerima zakat yang terdapat dalam surat At-Taubah ayat 60.
  
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana

Abu Bakar mendirikan Baitul Mal di San’ah, tempat yang terletak di daratan tinggi Madinah. Dia tidak mengangkat satu pun pengawal atau pegawai untuk mengawasinya. Bila ditanya mengapa tidak mengangkat penjaga, maka Abu Bakar menjawab. “Jangan takut, tidak ada sedikit pun harta yang tersesisa di dalamnya, semua telah habis dibagikan.”
Ketika Abu Bakar meninggal, Umar bin Khatab memanggil sahabat terpercaya,  di antaranya Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan untuk masuk dalam Baitul Mal. Mereka tidak mendapatkan satu dinar dan satu dirham pun di dalamnya, kecuali satu karung harta yang tersimpan dalam Baitul Mal yang berisi satu dirham.
2.      Masa Pemerintahan Umar bin Khottob
Pada masa Umar menjadi Khalifah, situasi jazirah Arab relatif lebih stabil dan tentram. Semua kabilah menyambut seruan zakat dengan sukarela. Umar melantik amil-amil untuk bertugas mengumpulkan zakat dari orang-orang dan kemudian mendistribusikan kepada golongan yang berhak menerimanya. Sisa zakat itu kemudian diberikan kepada Khalifah.
Untuk mengelola wilayah yang semakin luas dan dengan persoalan yang kian kompleks, Umar kemudian membenahi struktur pemerintahannya dengan membentuk beberapa lembaga baru yang bersifat akseklusif-operasional, di antara lembaga baru yang Umar bentuk adalah Baitul Mal.
Kebijakan yang diterapkan oleh Umar dalam lembaga baitul mâl di antaranya adalah dengan mengklasifikasikan sumber pendapatan negara menjadi empat, yaitu:[6]
a.      Pendapatan zakat dan `ushr. Pendapatan ini didistribusikan di tingkat lokal dan jika terdapat surplus, sisa pendapatan tersebut disimpan di baitul mâl pusat dan dibagikan kepada delapan ashnâf, seperti yang telah ditentukan dalam al-Qur`an.
b.      Pendapatan khums dan sedekah. Pendapatan ini didistribusikan kepada fakir miskin atau untuk membiayai kesejahteraan mereka tanpa membedakan apakah ia seorang muslim atau bukan.
c.       Pendapatan kharâj, fai, jizyah, `ushr, dan sewa tanah. Pendapatan ini digunakan untuk membayar dana pensiun dan dana bantuan serta untuk menutupi biaya operasional administrasi, kebutuhan militer, dan sebagainya.
d.      Pendapatan lain-lain. Pendapatan ini digunakan untuk membayar para pekerja, pemeliharaan anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.
Klasifikasi sumber pendapatan negara di atas sangat penting untuk diterapkan dalam pemerintahan Islam. Salah satu tujuannya adalah agar suatu sumber pendapatan tidak tercampur dengan sumber pendapatan yang lain. Seperti zakat dan pajak. Redistribusi pendapatan hasil zakat, sudah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu kepada 8 golongan (ashnâf) yang berhak menerima zakat. Dan jika terdapat sisa dari hasil pengumpulan zakat, maka khalifah dapat mengambil kebijakan untuk disesuaikan dengan kebutuhan social. Sedangkan redistribusi pajak dapat ditentukan oleh khalifah. Dan umumnya hasil pemungutan pajak ditujukan untuk pembangunan negara. Karena itulah, para pejabat baitul mâl tidak mempunyai wewenang dalam membuat suatu keputusan terhadap harta baitul mâl yang berupa zakat.
Selanjutanya dalam mendistribusikan harta baitul mâl, Umar mendirikan beberapa departemen yang dianggap perlu, seperti:[7]
a.      Departemen pelayanan militer. Departemen ini berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada orang-orang yang terlibat dalam peperangan. Besarnya jumlah dana bantuan ditentukan oleh jumlah tanggungan keluarga setiap penerima dana.
b.      Departemen kehakiman dan ekskutif. Departemen ini bertanggung jawab terhadap pembayaran gaji para hakim dan pejabat ekskutif. Besarnya gaji ini ditentukan oleh dua hal, yaitu jumlah gaji yang diterima harus mencukupi kebutuhan keluarganya agar terhindar dari praktik suap dan jumlah gaji yang diberikan harus sama dan kalaupun terjadi perbedaan, hal itu tetap dalam batas-batas kewajaran.
c.       Departemen pendidikan dan pengembangan Islam. Departemen ini mendistribusikan bantuan dana bagi penyebar dan pengembang ajaran Islam beserta keluarganya, seperti guru dan juru dakwah.
d.      Departemen jaminan sosial. Departemen ini berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada seluruh fakir miskin dan orang-orang yang menderita.
Di samping mendirikan beberapa departemen dalam pendistribusian harta baitul mâl, Umar juga menerapkan prinsip keutamaan dalam mendistribusikannya. Ia tidak senang memberikan bagian yang sama kepada orang-orang yang pernah berjuang menentang Rasulullah saw dengan orang-orang yang telah berjuang membela beliau. Menurut pendapatnya bahwa kesulitan yang dihadapi umat Islam harus diperhitungkan jika menetapkan bagian seseorang dari kelebihan harta bangsa itu. Prinsip keadilan menghendaki bahwa usaha seseorang serta tenaga yang telah dicurahkan dalam memperjuangkan Islam harus dipertahankan dan dibalas dengan sebaik-baiknya.[8]
Karena hal itu, Umar membentuk sistem dîwân, yang menurut pendapat terkuat mulai dipraktekkan untuk pertama kalinya pada tahun 20 H. Dalam rangka ini, ia menunjuk sebuah komite nassâb ternama yang terdiri dari Aqil bin Abu Thalib, Mahzamah bin Naufal, dan Jabir bin Mut`im untuk membuat laporan sensus penduduk.
Setelah semua penduduk terdata, Umar mengklasifikasikan beberapa golongan yang berbeda-beda dalam pendistibusian harta baitul mâl sebagai berikut:
No.
Penerima
Jumlah
1.
Aisyah dan Abbas bin Abdul Muthallib
@ 12.000 dirham
2.
Para istri Nabi selain Aisyah
@ 10.000 dirham
3.
Ali, Hasan, Husain, dan para pejuang Badr
@ 5.000 dirham
4.
Para pejuang Uhud dan migran ke Abysinia
@ 4.000 dirham
5.
Kaum muhajirin sebelum peristiwa Fathu Mekah
@ 3.000 dirham
6.
Putra-putra para pejuang Badr, orang-orang yang memeluk Islam ketika terjadi peristiwa Fathu Mekah, anak-anak kaum muhajirin dan anshar, para pejuang perang Qadisiyyah, Uballa, dan orang-orang yang menghadiri perjanjian Hudaibiyyah.
@ 2.000 dirham
Orang-orang Mekah yang bukan termasuk kaum muhajirin mendapat tunjangan 800 dirham, warga Madinah 25 dinar, kaum muslimin yang tinggal di Yaman, Syria dan Irak memperoleh tunjangan sebesar 200 hingga 300 dirham, serta anak-anak yang baru lahir dan yang tidak diakui masing-masing memperoleh 100 dirham. Di samping itu, kaum muslimin memperoleh tunjangan pensiun berupa gandum, minyak, madu, dan cuka dalam jumlah yang tetap. Kualitas dan jenis barang berbeda-beda di setiap wilayah. Peran negara yang turut bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan makanan dan pakaian bagi setiap warga negaranya ini merupakan hal yang pertama kali terjadi dalam sejarah dunia.[9]
3.      Masa Khalifah Usman Bin Affan
Pengelolaan zakat pada periode Usman bin Affan pada dasarnya melanjutkan dasar-dasar kebijakan yang telah ditetapkan dan dikembangan oleh Umar bin Khattab.
Pada masa Usman kondisi ekonomi umat sangat makmur, bahkan diceritakan Usman sampai harus juga mengeluarkan zakat dari harta kharaz dan jizyah yang diterimanya. Harta zakat pada periode Usman mencapai rekor tertinggi dibandingkan pada masa-masa sebelumnya. Usman melantik Zaid bin Sabit untuk mengelola dana zakat.
Pernah satu masa, Usman memerintahkan Zaid untuk membagi-bagikan harta kepada yang berhak namun masih tersisa seribu dirham, lalu Usman menyuruh Zaid untuk membelanjakan sisa dana tersebut untuk membangun dan memakmurkan masjid Nabawi.
Pada periode ini ada sinyalemen bahwa perhatian khalifah pada pengelolaan zakat tidak sepenuh seperti pada kalifah sebelumnya, dikarenakan pada periode ini wilayah kekhalifahan Islam semakin luas dan pengelolaan zakat semakin sulit terjangkau oleh aparat birokrasi yang terbatas.
Sementara itu, terdapat sumber pendapatan negara selain zakat yang memadai, yakni kharaj dan jizyah. Sehingga khalifah lebih fokus dalam pengelolaan pendapatan negara yang lain seperti kharaj dan jizyah yang besaran persentasenya dapat diubah, berbeda dengan zakat yang besarannya harus mengikuti tuntunan syariat.
Khalifah Utsman ibn Affan tetap mempertahankan system pemberian bantuan dan santunan serta memeberikan sejumlah besar uang kepada masyarakat yang berbeda-beda. Meskipun meyakini prinsip persamaan dalam memenuhi kebutuhan pikok masyarakat, ia memberikan bantuan yang berbeda pada tingkat yang lebih tinggi. Dengan demikian, dalam pendistribusian harta Baitul Mal, Khalifah Utsman ibn Affan menerapkan prinsip keutamaan seperti halnya Umar ibn al-khattab.
Dalam hal pengelolaan zakat, Khalifah utsman ibn Affan mendelegasikan kewenangan menksir harta yang dizakati kepada para pemiliknya msiang-masing. Hal ini dilakukan untuk mengamankan zakat dari berbagai gangguan dan masalah dalam pemeriksaan kekayaan yang tidak jelas oleh beberapa oknum pengumpul zakat.
Untuk meningkatkan pengeluaran di bidang pertahanan dan kelautan, meningkatkan dana pensiun, dan pembangunan berbagai wilayah taklukan baru, Negara membutuhkan dana tambahan. Oleh karena itu, Khalifah Utsman ibn Affan membuat beberapa perubahan administrasi tingkat atas dan pergantian beberapa gubenur. Ia juga menerapkan kebijakan membagi-bagikan tanah-tanah Negara kepada individu- individu untuk reklamasi dan kontribusi kepada Baitul Mal. Dari hasil kebijakannya ini, Negara memperoleh pendapatan sebesar 50 juta dirham atau naik 41 juta dirham juka dibandingkan pada masa Umar ibn al-Khattab yang tidak membagi- bagikan tanah tersebut.
 Memasuki enam tahun kedua masa pemerintahan Utsman  Ibn Affan, tidak terdapat perubahan situasi ekonomi yang cukup signifikan. Berbagai kebijakan Khalifah Utsman ibn Affan yang banyak menguntungkan keluarganya telah menimbulkan benih kekecewaan yang mendalam pada sebagian besar kaum muslimin. Akibatnya, pada masa ini, pemerintahannya lebih banyak diwarnai kekacauan politik yang berakhir dengan terbunuhnya sang khalifah.[10]
4.      Masa Pemerintahan Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)
Setelah diangkat sebagai khalifah Islam IV oleh segenap kaum muslimin, Ali ibn Abi Thalib langsung mengambil beberapa tindakan, seperti memberhentikan para pejabat yang korupsi, membuka kembali lahan perkebunan yang telah diberikan kepada orang-orang kesayangan Utsman dan mendistribusikan pendapatan pajak tahunan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan Umar ibn al-Khattab.
Masa pemerintahan Khalifah Ali ibn Abi Thalib yang hanya berlangsung selama enam tahun selalu diwarnai dengan ketidakstabilan kehidupan politik. Ia harus menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair ibn al-Awwam, dan Aisyah yang menuntut kematian Utsman ibn Affan. Berbagai kebijakan tegas yang diterapkannya menimbulkan api permusuhan dengan keluarga Bani Umayyah yang dimotori oleh Muawiyah ibn Abi Sofyan. Pemberontakan juga datang  dari golongan Khawariij, mantan pendukung Khalifah Ali Ibn Abu Thalib yang kecewa terhadap keputusan tahkim pada perang shiffin.
Sekalipun demikian, khalifah Ali ibn Abi Thalib tetap berusaha untuk melaksanakan berbagai  kebijakan yang mendorong peningkatan kesejahteraan umat islam. Menurut sebuah riwayat, ia secara sukarela menarik diri dari daftar penerima dana bantuan Baitul Mal. Selama masa pemerintahannya Khalifah Ali ibn Abi Thalib menetapkan pajak terhadap hasil hutan dan sayuran.
Selama masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib, system administrasi Baitul Mal, baik diangkat pusat maupun daerah, telah berjalan dengan baik. Kerjasama antara keduannya berjalan dengan lancer maka pendaptaan  baitul Mal mengalami surplus. Dalam pendistribusian harta Baitul Mal, khalifah Ali Ibn AbinThalib menerapkan prinsip pemerataan. Ia memberikan santunan yang sama kepada setiap orang tanpa memandang status social atau kedudukannya di dalam Islam. Khalifah Ali ibn Abi Thalib tetap berpendapat bahwa seluruh pendapatan Negara yang disimpan dalam Baitul Mal harus didistribusikan kepada kaum muslimin, tanpa ada sedikitpun dana yang tersisa. Distribusi tersebut dilakukan sekali dalam sepekan. Hari kamis merupakan hari pendistribusian atau hari pembayaraan. Pada hari itu, semua penghitungan diselesaikan dan, pada hari sabtu penghitungan baru dimulai.[11]
Kebijakan Ekonomi Ali Bin Ali Thallib antara lain :
a.       Mengedepankan prinsip pemerataan dalam pendistribusian kekayaan negara kepada masyarakat.
b.      Menetapkan pajak terhadap para pemilik kebun dan mengijinkan pemungutan zakat terhadap sayuran segar
c.       Pembayaran gaji pegawai dengan system mingguan
d.      Melakukan kontrol pasar dan pemberantas pedagang licik, penimbunan barang , dan pasar gelap
e.       Aturan konpensai bagi para pekerja jika kereka merusak barang-barang pekerjaaannya.

D.     Kesimpulan
1.      Baitul Mal semakin mapan bentuknya pada zaman khalifah Umar bin Khattab. Pada masanya system administrasi dan pembentukan dewan-dewan dilakukan untuk ketertiban administrasi. Umar juga meluaskan basis zakat san sumber pendapatan lainnya.
2.      Kebijakan Umar diteruskan oleh Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, khalifah –khalifah berikutnya. Yang patut dicatat dalam periode ini bahwa para khalifah itu amat serius dalam memikirkan kesejahteraan rakyat, pendapatan dan penerimaan Baitul Mal. Fungsi Baitul Mal sebagai instrument dalam kebijakan fiscal ini tentu hanha dapat terlaksana dengan pribadi-pribadi yang jujur dan amanah tersebut.
3.      Zakat pada permulaan Islam diwajibkan secara mutlak. Kewajiban zakat ini tidak dibatasi harta yang diwajibkan untuk dizakati dan ketentuan kadar zakatnya. Semua itu diserahkan pada kesadaran dan kemurahan kaum Muslimin. Akan tetapi, mulai tahun kedua setelah hijrah, menurut keterangan yang masyhur ditetapkan besar dan jumlah setiap jenis harta serta dijelaskan secara teperinci.




DAFTAR KEPUSTAKAAN
Afzalurrahman. Doktrin Ekonomi Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995.

Al-Zuhayly, Wahbah. Zakat Kajian Berbagai Madzhab, Bandung: Remaja Rosdakarya. 1995.

Aziz, Abdul. Kapita selekta Ekonomi Islam Kontemporer, Bandung: Alfabeta Bandung, 2010.

Azra, Azyumaryadi. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Gramarta Publishing, 2010.

Falah Zadeh, M. Husein. Belajar Fiqih untuk Tingkat Pemula, Cet 1; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.

Karim, Adiwarman Azwar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, September 2004, cet. Ke-1, edisi kedua.

Mughniyah, M. Jawad. Fiqih Imam Ja’far Shadiq,  Cet 5, Jakarta: Lentera, 2009.

Ra`ana dan Irfan Mahmud. Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar ibn Khattab, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.


[1]M. Jawad Mughniyah, Fiqih Imam Ja’far Shadiq,  Cet 5, (Jakarta: Lentera, 2009), hlm. 403.
[2]M. Husein Falah Zadeh, Belajar Fiqih untuk Tingkat Pemula, Cet 1; (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 223
[3]M. Jawad Mughniyah, Op.cit., hlm. 404-405.
[4]Wahbah Al-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Madzhab, (Bandung: Remaja Rosdakarya. 1995), hlm. 89.
[5]Abdul Aziz, Kapita selekta Ekonomi Islam Kontemporer, (Bandung: Alfabeta Bandung, 2010), hlm. 111.
[6]Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, September 2004), cet. Ke-1, edisi kedua, hlm. 74.
[7]Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam. (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), Jilid I, hlm. 169-173.
[8]Ibid.,  
[9]Ra`ana dan Irfan Mahmud, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar ibn Khattab, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), hlm. 150.
[10]Azyumaryadi Azra, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Gramarta Publishing, 2010), hlm. 95-96..
[11]Azyumaryadi Azra, Op.cit., hlm. 97.

No comments:

Post a Comment

contact form

Name

Email *

Message *