Allcoins.pw

Thursday, 22 October 2015

Akad Murabahah, Salam dan Istishna



KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur ke hadirat Allah SWT. Berkat bimbingan serta petunjuk-Nya kami bisa menyelesaikan makalah ini. Adapun judul makalah ini adalah “Akad Murabahah, Salam dan Istishna”. Kami menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Dosen Pembimbing dalam mata kuliah Kegiatan Usaha Bank.
            Meskipun pembuatan makalah ini telah selesai, namun kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kami masih mengharapkan bimbingan dari Dosen Pembimbing, serta kritik dan saran dari teman – teman sekalian.







                                                                                       Padangsidimpuan,      Agustus  2015

                                                                                         Penyusun



DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................................................... 1
Daftar Isi......................................................................................................................................... 2
BAB I Pendahuluan
A.    Latar Belakang.................................................................................................................... 3
B.     Rumusan Masalah............................................................................................................... 3
C.     Tujuan.................................................................................................................................
BAB IIPembahasan
A.        Murabahah........................................................................................................................ 4
B.         Salam................................................................................................................................ 9
C.         Istishna.............................................................................................................................. 15
BAB IIIPenutup
A.    Kesimpulan......................................................................................................................... 23
B.     Kritik dan Saran ................................................................................................................. 23
Daftar Pustaka         
           














BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang Masalah
Fenomena jual beli dalam kehidupan sehari-hari merupakan fenomena yang menjadi kebiasaan masyarakat. Terutama masyarakat Indonesia yang banyak  berprofesi sebagai pedagang. Jual beli diatur juga dalam syariah islam. Akan tetapi pengetahuan masyarakat tentang jual beli berdasarkan syariah Islam masih kurang, oleh karena itu banyak masyarakat yang melakukan jual beli menyimpang dari  syariat Islam.
Jual beli terdiri dari dua macam, yaitu jual beli tunai dan jual beli secara tangguh. Jual beli secara tangguh pun terbagi lagi menjadi tiga, yaitu jual beli murabahah, salam dan istishna’. Jual beli salam dan istishna’ sebenarnya jual beli yang serupa, hanya saja perbedaannya terletak dari keberadaan barang yang dijadikan sebagai objek akad dan cara pembayaran yang sedikit berbeda.
Pada makalah ini akan di bahas ketiga akad diatas tersebut, sehinnga para pembaca khususnya penulis dapat lebih memahami akad jual beli murabahah, salam dan istishna mengingat akad salam maupun istishna juga sedang berkembang saat ini dengan dikenalnya jual beli online.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa defenisi akad murabahah, salam dan istishna serta apa landasan hukumnya serta rukun dan syarat akad tersebut ?
2.      Bagaimana tekhnis penerapan akad murabahah, salam, dan istishna dalam perbankan syari’ah ?


C.    Tujuan Perumusan
1.      Agar pembaca terutama penulis dapat memahai apa yang dimaksud dengan akad murabahah, salam dan istishna serta mengetahui landasan hukumnya.
2.      Agar pembaca terutama penulis memahami bagaimana tekhnis akad murabahah, salam dan istishna dalam perbankan.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    MURABAHAH
a.              Pengertian Murabahah
Kata Murabahah secara bahasa adalah bentuk  mutual (bermakna: saling) yang diambil dari bahasa Arab, yaitu ar-ribhu (الرِبْحُ) yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan). Jadi, murabahah diartikan dengan saling menambah (menguntungkan). Sedangkan dalam definisi para ulama terdahulu adalah jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui. Hakekatnya adalah menjual barang dengan harga (modal) nya yang diketahui kedua penjual dan pembeli dengan tambahan keuntungan yang jelas.[1]
Murabahah adalah jual belibarang pada harga asal dengan tambahan keuntungan/margin yang disepakati.
Akad yang banyak mendapat penilaian tentang “kehalalan” pelaksanaannya adalah murabahah, yaitu jual beli dengan harga jual terdiri dari harga beli dan keuntungan yang sudah disepakati.[2]
            Pada murabahah, penyerahan barang dilakukan pada saat transaksi sementara pembayarannya dilakukan secara tunai, tangguh ataupun dicicil.[3]
b.              Landasan Hukum Murabahah
Landasan hukum akad murabahah ini adalah:
a)            Al-Quran
Ayat-ayat Al-Quran yang secara umum membolehkan jual beli, diantaranya adalah firman Allah:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: "..dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (QS. Al-Baqarah:275).
Ayat ini menunjukkan bolehnya melakukan transaksi jual beli dan murabahah merupakan salah satu bentuk dari jual beli.
Dan firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu” (QS. An-Nisaa:29).
Dan firman Allah:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُوا فَضْلاً مِّن رَّبِّكُمْ
Artinya: “Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Rabbmu” (QS.Al-Baqarah:198)
Berdasarkan ayat diatas, maka murabahah merupakan upaya mencari rezki melalui jual beli. 
b)            Assunnah
-          Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam: “Pendapatan yang paling afdhal(utama) adalah hasil karya tangan seseorang dan jual beli yang mabrur”. (HR. Ahmad Al Bazzar Ath Thabrani).
-          Hadits dari riwayat Ibnu Majah, dari Syuaib:
أَنَّ النَّبِي صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ثَلاَثٌ فِيْهِنَّ البَرَكَة: البَيْعُ إِلىَ أَجَلٍ, وَالمُقـَارَضَة, وَ خَلْطُ البُرّ بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَ لِلْبَيْعِ. (رَوَاهُ ابْنُ مَاجَه
”Tiga perkara yang didalamnya terdapat keberkahan: menjual dengan pembayaran secara tangguh, muqaradhah (nama lain dari mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan tidak untuk dijual” (HR. Ibnu Majah).

c.              Rukun dan Syarat Murabahah
a)      Rukun Murabahah
-          Penjual (Bai’)
-          Pembeli (Musytari’)
-          Barang/Obyek (Mabi’)
-          Harga (Tsaman)
-          Ijab Qabul (Sighat)
b)      Syarat Murabahah
-          Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah;
-          Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan;
-          Kontrak harus bebas riba;
-          Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian;
-          Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian.[4]

d.             Tekhnis Penerapan Murabahah di Perbankan Syari’ah

Untuk memahami Murabahah di perbankan syari’ah maka lebih dahulu kita ketahui jenis akad murabahah. Ada dua jenis akad murabahah, yaitu:[5]
-          Murabahah dengan pesanan (murabaha to the purchase order).
Bank melakukan pembelian barang  setelah ada pemesanan dari Nasabah.
Skema Murabahah dengan pesanan
Keterangan : 
1.       Nasabah bernegosiasi kepada bank untuk melakukan pembiayaan murabahah
2.       Karena bank tidak memiliki stok barang yang dibutuhkan nasabah, maka bank selanjutnya melakukan pembelian barang kepada supplier/pemasok .
3.       a.Nasabah dan bank melakukan akad murabahah.
b.Bank melaksanakan serah terima barang.
c.barang yang diinginkan pembeli (nasabah) selanjutnya diantar oleh pemasok (supplier) kepada nasabah (pembeli).
4.       Setelah menerima barang, nasabah (pembeli)selanjutnya membayar kepada bank. Pembayaran kepada bank biasanya dilakukan dengan cara mencicil sejumlah uang tertentu selama jangka waktu yang disepakati.

-          Murabahah tanpa pesanan  murabahah jenis ini bersifat tidak mengikat.

Skema Murabahah Tanpa Pesanan
Keterangan :
1.      Kedua belah pihak melakukan akad yaitu pihak penjual (ba’i) dan pembeli (musytari)melaksanakan akad murabahah.
2.      a. Bank menyerahkan barang kepada pembeli karena memilikinya terlebih dahulu
b. Membayar atas barang beserta margin yang telah disepakati.

e.              Penerapan murabahah[6]

Murabahah merupakan skim fiqh yang paling populer diterapkan dalam perbankan syariah. Murabahah dalam perbankan syariah didefinisikan sebagai jasa pembiayaan dengan mengambil bentuk transaski jual beli barang antara bank dengan nasabah dengan cara pembayaran angsuran. Dalam perjanjian murabahah, bank membiayai pembelian barang atau asset yang dibutuhkan oleh nasabahnya dengan membeli barang itu dari pemasok barang  dan kemudian menjualnya kepada nasabah tersebut dengan menambahkan suatu mark-up atau margin keuntungan.
Murabahah sebagaimana yang diterapkan dalam perbankan syariah, pada prinsipnya didasarkan pada 2 (dua) elemen pokok, yaitu harga beli serta biaya yang terkait dan kesepakatan atas mark-up. Ciri dasar kontrak pembiayaan murabahah adalah sebagai berikut :
a.                          Pembeli harus memiliki pengetahuan tentang biaya-biaya terkait dan harga pokok barang dan batas mark-up harus ditetapkan dalam bentuk persentase dari total harga plus biaya-biayanya.
b.                         Apa yang dijual adalah barang atau komoditas dan dibayar dengan uang.
c.                          Apa yang diperjual-belikan harus ada dan dimiliki oleh penjual atau wakilnya dan harus mampu menyerahkan barang itu kepada pembeli.
d.                         Pembayarannya ditangguhkan.
Bank-bank syariah umumnya mengadopsi murabahah untuk memberikan pembiayaan jangka pendek kepada para nasabah guna pembelian barang meskipun mungkin nasabah tidak memiliki uang untuk membayar. Kemudian Dalam prakteknya di perbankan Islam, sebagian besar kontrak murabahah yang dilakukan adalah dengan menggunakan sistem murabahah kepada pemesan pembelian (KPP). Hal ini dinamakan demikian karena pihak bank syariah semata-mata mengadakan barang atau asset untuk memenuhi kebutuhan nasabah yang memesannya. Jadi secara umum, skema dari aplikasi murabahah ini sama dengan murabahah berdasarakan pesanan.
Bank atau Lembaga Keuangan Syariah (BMT) bertindak sebagai penjual sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari produsen (supplier) ditambah keuntungan. Kedua belah pihak harus menyepakati harga jual tersebut dan jangka waktu pembayaran. Harga jual ini dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati, tidak dapat berubah selama berlaku akad. Barang atau objek harus diserahkan segera kepada nasabah, dan pembayarannya dilakukan secara tangguh.
Terdapat juga pengembangan dari aplikasi pembiayaan murabahah dalam bank syariah atau BMT, yaitu dalam hal pengadaan barang. Dalam hal ini bank atau BMT menggunakan media akad wakalah untuk memberikan kuasa kepada nasabah untuk membeli barang atas nama bank kepada supplier atau pabrik. Skema pengembangan dengan akad wakalah dari pembiayaan murabahah adalah sebagai berikut.
Skema Pengembangan Murabahah

Dalam hal ini, apabila pihak bank mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga (supplier), maka kedua pihak harus menandatangani kesepakatan agency (agency contract), dimana pihak bank memberi otoritas kepada nasabah untuk menjadi agennya untuk membeli komoditas dari pihak ketiga atas nama bank, dengan kata lain nasabah menjadi wakil bank untuk membeli barang.
Kepemilikan barang hanya sebatas sebagai agen dari pihak bank. Selanjutnya nasabah memberikan informasi kepada pihak bank bahwa Ia telah membeli barang, kemudian pihak bank menawarkan barang tersebut kepada nasabah dan terbentuklah kontrak jual beli. Sehingga barang pun beralih kepemilikan menjadi milik nasabah dengan segala resikonya.[7]

B.     SALAM
a.              Pengertian Salam
Secara bahasa as-salam  atau as-salaf  berarti pesanan. Secara terminologis para ulama mendefinisikannya dengan: “Menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu (barang) yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih awal, sedangkan barangnya diserahkan kemudian hari”.[8]
Untuk hal ini para fuqaha (ahli hukum islam) menamainya dengan Al-Mahawi’ij yang artinga “barang mendesak”, sebab dalam jual beli ini barang yang menjadi objek perjanjian jual beli tidak ada ditempat, sementara itu kedua belah pihak telah sepakat untuk melakukan pembayaran terlebih dahulu.
Secara lebih rinci salam didefenisikan dengan bentuk jual beli dengan pembayaran dimuka dan penyerahan barang di kemudian hari (advanced payment atauforward buying atau future sale) dengan harga, spesifikasi, jumlah, kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang jelas, serta disepakati sebelumnya dalam perjanjian.[9]

b.              Landasan Hukum Salam
a.      Al-Quran
282. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
b.      Al-Hadist
عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَدِمَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم اَلْمَدِينَةَ, وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي اَلثِّمَارِ اَلسَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ, فَقَالَ: ( مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ, وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ, إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَلِلْبُخَارِيِّ: مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ
Ibnu Abbas berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam datang ke Madinah dan penduduknya biasa meminjamkan buahnya untuk masa setahun dan dua tahun. Lalu beliau bersabda: "Barangsiapa meminjamkan buah maka hendaknya ia meminjamkannya dalam takaran, timbangan, dan masa tertentu." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Bukhari: "Barangsiapa meminjamkan sesuatu."
وَعَنْ عَبْدِ اَلرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، وَعَبْدِ اَللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَا:( كُنَّا نُصِيبُ اَلْمَغَانِمَ مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَكَانَ يَأْتِينَا أَنْبَاطٌ مِنْ أَنْبَاطِ اَلشَّامِ, فَنُسْلِفُهُمْ فِي اَلْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ وَالزَّبِيبِ - وَفِي رِوَايَةٍ: وَالزَّيْتِ - إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى. قِيلَ: أَكَانَ لَهُمْ زَرْعٌ? قَالَا: مَا كُنَّا نَسْأَلُهُمْ عَنْ ذَلِك)  رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ 
Abdurrahman Ibnu Abza dan Abdullah Ibnu Aufa Radliyallaahu 'anhu berkata: Kami menerima harta rampasan bersama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Dan datanglah beberapa petani dari Syam, lalu kami beri pinjaman kepada mereka berupa gandum, sya'ir, dan anggur kering -dalam suatu riwayat- dan minyak untuk suatu masa tertentu. Ada orang bertanya: Apakah mereka mempunyai tanaman? Kedua perawi menjawab: Kami tidak menanyakan hal itu kepada mereka. (HR. Bukhari).
“Barang siapa melakukan salam, hendaknay ia melakukannya dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui.” (HR. Bukhari Muslim)
Dari berbagai landasan di atas, jelaslah bahwa akad salamdiperbolehkan sebagai kegiatan bemuamalah sesama manusia.

c.              Rukun dan Syarat Salam

Syarat-syarat sahnya jual beli salam adalah sebagai berikut:[10]
1.            Pihak-pihak yang berakad disyaratkan dewasa, berakal, dan baligh.
2.            Barang yang dijadikan obyek akad disyaratkan jelas jenis, ciri-ciri, dan ukurannya.
3.            Modal atau uang disyaratkan harus jelas dan terukur serta dibayarkan seluruhnya ketika berlangsungnya akad. Menurut kebanyakan fuqaha, pembayaran tersebut harus dilakukan di tempat akad supaya tidak menjadi piutang penjual. Untuk menghindari praktek riba melalui mekanisme Salam.pembayarannya tidak bisa dalam bentuk pembebasan utang penjual.
4.            Ijab dan qabul harus diungkapkan dengan jelas, sejalan, dan tidak terpisah oleh hal-hal yang dapat memalingkan keduanya dari maksud akad.
Para imam mazhab telah bersepakat bahwasanya jual beli salam adalah benar dengan enam syarat yaitu jenis barangnya diketahui, sifat barangnya diketahui, banyaknya barang diketahui, waktunya diketahui oleh kedua belah pihak, mengetahui kadar uangnya, jelas tempat penyerahannya.
Namun Imam Syafi’i menambahkan bahwa akad salam yang sah harus memenui syarat in’iqad, syarat sah, dan syarat muslam fiih.[11]
a)      Syarat-syarat In’iqad
a.       Pertama, menyatakan shigat ijab dan qabul, dengan sighat yang telah disebutkan.
b.   Kedua, pihak yang mengadakan akad cakap dalam membelanjakan harta. Artinya dia telah baligh dan berakal karena jual beli salam  merupakan transaksi harta benda, yang hanya sah dilakukan oleh orang yang cakap membelanjakan harta, sepertihalnya akad jual beli.
b)         Syarat Sah Salam
a.       Pertama, pembayaran dilakukan di majelis akad sebelum akad disepakati, mengingat kesepakatan dua pihak sama dengan perpisahan. Alasannya, andaikan pembayaran salam ditangguhkan,terjadilah transaksi yang mirip dengan jual beli utang dan piutang, jikaharga berada dalam tanggungan. Disamping itu akad salam mengandung gharar.
b.      Kedua, pihak pemesan secara khusus berhak menentukan tempat penyerahan barang pesanan, jika dia membayar ongkos kirim barang. Jika tidak maka pemesan tidak berhak menentukan tempat penyerahan. Apabila penerima pesanan harus menyerahkan barang itu di suatu tempat yang tidak layak dijadikan sebagai tempat penyerahan. misalnya gurun sahara,, atau  layak dijadikan tempat penyerahan barang tetapi perlu biaya pengangkutan, akad salam hukumnya tidak sah.

c)      Syarat Muslam Fiih (barang pesanan)
Ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam barang pesanan, yaitu sebagai berikut:
a.       Pertama, barang pesanan harus jelas jenis, bentuk, kadar, dan sifatnya. Ia dapat diukur dengan karakteristik tertentu yang membedakannya dengan barang lain dan tentu  mempunyai fungsi yang berbeda pula seperti beras tipe 101, gandum,jagung putih, jagung kuning dan jenis barang lainnya. Barang seperti lukisan berharga dan barang-barang langka tidak dapat dijadikan barang jual beli salam.  Penyebutan karakteristik tersebut sangat perlu dilakukan untuk menghindari ketidakjelasan barang pesanan.
b.      Kedua, barang pesanan dapat diketahui kadarnya baik berdasarkan takaran, timbangan, hitungan perbiji, atau ukuran panjang dengan satuan yang dapat diketahui. Disyaratkan menggunakan timbangan dalam pemesanan buah-buahan yang tidak dapat diukur dengan takaran.‘Abdullah ibn Mas‘ud melarang adanya kontrak salam pada binatang. Tetapi ‘Abdullah ibn ‘Umar membolehkannya jikapembayaran ditentukan pada waktu yang telah disepakati.Hal ini menunjukkan bahwa para sahabat terus mengizinkan praktek penjualan di muka.
c.       Ketiga, barang pesanan harus berupa utang (sesuatu yang menjadi tanggungan).
d.      Keempat, barang pesanan dapat diserahkan begitu jatuh tempo penyerahan. Barang yang sulit diserahkan tidak boleh diperjual belikan, karena itu dilarang alam akad salam.




Hal-hal lain yang terkait dengan transaksi salam dapat diuraikan sebagai berikut:
Ketentuan Pembiayaan Bai as-Salam sesuai dengan Fatwa No.05/1 DSN-MUI/IV/2000 Tanggal 1 April 2000.
a.       Ketentuan Pembayaran Uang Kas:
i.                    Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa  uang, barang, atau manfaat;
ii.                  Dilakukan saat kontrak disepakati (inadvance); dan
iii.                Pembayaran tidak boleh dalam bentuk ibra’ (pembebasan utang). contoh pembeli mengatakan kepada petani (penjual) “Saya beli padi Anda sebanyak 1 ton dengan harga Rp 10 juta yang pembayarannya/uangnya adalah Anda saya bebaskan membayar utang Anda yang dahulu (sebesar Rp 2 juta)”. Pada kasus ini petani memang memiliki utang yang belum terbayar kepada pembeli, sebelum terjadinya akad salam tersebut.
i.                         Harus jelas ciri-cirinya/spesifikasi dan dapat diakui sebagai utang;
ii.                       Penyerahan dilakukan kemudian;
iii.                     Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan ber- dasarkan kesepakatan;
iv.                     Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum barang tersebut diterimanya (qabadh). Ini prinsip dasar jual beli; dan
v.                       Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan

c.       Penyerahan Barang sebelum Tepat Waktu:
i.                    Penjual wajib menyerahkan barang tepat waktu dengan kualitas dan kuantitas yang disepakati;
ii.                  Bila penjual menyerahkan barang, dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga;
iii.                Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka pembeli tidak bo­leh meminta pengurangan harga (diskon); dan
iv.                Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat: kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan dan tidak boleh menuntut tam­bahan harga.

Jika semua/sebagian barang tidak tersedia tepat pada waktu pe­nyerahan atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela me­nerimanya, maka pembeli memiliki dua pilihan:
1.            Membatalkan kontrak dan meminta kembali uang.
2.            Menunggu sampai barang tersedia.
Pembatalan kontrak boleh dilakukan selama tidak merugikan kedua belah pihak, dan jika terjadi di antara kedua belah pihak, maka persoalannya diselesaikan melalui pengadilan agama sesuai dengan UU No. 3/2006 setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Para pihak dapat juga memilih BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) dalam penyelesaian sengketa.Tetapi jika lembaga ini yang dipilih dan disepakati sejak awal, maka tertutuplah peranan pengadilan agama.
d.      Tekhnis Penerapan Salam di Perbankan Syari’ah

3.Penyerahan barang di kemudian hari







Oval: Penjual (Muslam Ilaih)
Oval: Pembeli (Muslam)
 
1.Akad Bai’ as-Salam








 


2.Pembayaran di muka

As-Salam mempunyai arti yakni seseorang yang memberikan bayaran di muka untuk mendapatkan barang yang masih abstrak dengan jaminan bahwa ia akan menerimanya pada masa tertentu. Salam termasuk transaksi jual beli.[12]
Dalam praktek bank syariah di Indonesia, pembiayaan salam muncul akibat adanya permintaan barang tertentu dengan spesifikasi yang jelas oleh nasabah pembeli kepada bank syariah selaku penjual. Nasabah dan Bank kemudian sepakat (terjadi akad) untuk membayar harga dan waktu tangguh untuk barang yang disepakati. Bank kemudian mencari produsen yang sanggup untuk menyediakan barang dimaksud. Pembayaran oleh nasabah dilakukan sebagian di awal dan sisanya sebelum barang diterima atau sisanya diangsur.
Praktek pembiayaan salam di beberapa bank syariah  tidak terbatas pada hasil pertanian. Setiap pembelian barang apapun yang memerlukan tahapan pemesanan, proses produksi, serta penangguhan pengiriman dapat dilakukan akad salam.
Praktek ini tentunya harus dicermati, sebab tidak semua jenis barang bisa dilakukan akad salam. Yang demikian itu karena praktek as-salam adalah jual beli terhadap benda yang tidak dimiliki dan terhadap benda yang belum sepenuhnya dimiliki. Keduanya merupakan praktek yang terlarang, namun Salam dikecualikan dari larangan itu berdasarkan nash yang ada. Dengan demikian, barang/benda yang padanya akan diterapkan praktek Salam haruslah ada nash/dalilnya. Dengan merujuk pada nash-nash yang ada, maka salam bisa dilakukan pada setiap barang yang diukur, ditimbang, dan dihitung (al-ma’dud)[13]. Syarat tersebut juga disepakati oleh empat imam madzhab (Syafi’i, Hambali, Hanafi, Maliki).[14]
Praktek akad salam di bank hampir selalu dilakukan berupa salam paralel. Di mana pada akad pertama nasabah pembeli tidak membayar uang di muka barang yang dibeli, tetapi meminta bank untuk membiayai pengadaannya terlebih dahulu. Pada akad kedua, bank syariah memesan barang kepada produsen dengan pembayaran di muka dan penyerahan tangguh.

C.     ISTISHNA

a.              Pengertian Istishna
Al-Istishna’ adalah akad jual beli pesanan antara pihak produsen / pengrajin / penerima pesanan ( shani’) dengan pemesan ( mustashni’) untuk membuat suatu produk barang dengan spesifikasi tertentu (mashnu’) dimana bahan baku dan biaya produksi menjadi tanggungjawab pihak produsen sedangkan sistem pembayaran bisa dilakukan di muka, tengah atau akhir.
Secara umum landasan syariah yang berlaku pada bai’ as-salam juga berlaku pada bai’ al-istishna’. Menurut Hanafi, bai’ al-istishna’  termasuk akad yang dilarang karena mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual, sedangkan dalam istishna’, pokok kontrak itu belum ada atau tidak dimiliki penjual. Namun mazhab Hanafi menyutui kontrak istishna’  atas dasar istishan.[15]
Mazhab Hanafi Menyetujui kontrak Istishna’ atas dasar Istihsan karena alasan-alasan berikut ini :
a)       Masyarakat telah mempraktekkan bai’ al-Istishna’ secara luas dan terus menerus tanpa ada keberatan sama sekali. Hal demikian menjadikan bai’ al-istishna sebagai kasus ijma’ atau konsensus umum.
c)            Di dalam Syariah di mungkinkan adanya penyimpangan terhadap qiyas berdasarkan ijma’ ulama.
d)           Keberadaan bai’ al-istishna’ di dasarkan atas kebutuhan masyarakat. Banyak orang seringkali memerlukan barang yang tidak tersedia di pasar sehingga mereka cenderung untuk melakukan kontrak agar orang lain membuatkan barang untuk mereka.
e)            Bai’ al-istishna’ sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama tidak bertentangan dengan nash atau aturan syariah.
Sebagian Fuqaha kontemporer berpendapat bahwa bai’ al-istishna’ adalah sah atas dasar qiyas dan aturan umum syariah karena itu memang jual beli biasa dan si penjual akan mampu mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan. Demikian juga terjadinya kemungkinan perselisihan atas jenis dan kualitas suatu barang dapat di minimalkan dengan pencantuman spesifikasi dan ukuran-ukuran serta bahan material pembuatan barang tersebut.

b.              Dasar Hukum Istishna
Hukum transaksi bai’ istishna’ terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
a)      Al-Qur’an
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا

Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. (Qs. Al Baqarah: 275)

Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih.


b)      Al-hadits
عَنْأَنَسٍ رضي الله عنه أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ ص كَانَأَرَادَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى الْعَجَمِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ الْعَجَمَ لاَيَقْبَلُونَ إِلاَّ كِتَابًا عَلَيْهِ خَاتِمٌ. فَاصْطَنَعَ خَاتَمًا مِنْفِضَّةٍ.قَالَ:كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِهِ فِى يَدِهِ. رواه مسلم

Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (HR. Muslim)

c.              Rukun dan Syarat istishna
Akad istishna' memiliki 3 rukun yang harus terpenuhi agar akad itu benar-benar terjadi yaitu, kedua-belah pihak, barang yang diakadkan dan shighah (ijab qabul).
1.       Kedua-belah pihak
 Kedua-belah pihak maksudnya adalah pihak pemesan yang diistilahkan dengan mustashni' (المستصنع) sebagai pihak pertama. Pihak yang kedua adalah pihak yang dimintakan kepadanya pengadaaan atau pembuatan barang yang dipesan, yang diistilahkan dengan sebutan shani' (الصانع).
2.       Barang yang diakadkan
Barang yang diakadkan atau disebut dengan al-mahal (المحل) adalah rukun yang kedua dalam akad ini. Sehingga yang menjadi objek dari akad ini semata-mata adalah benda atau barang-barang yang harus diadakan. Demikian menurut umumnya pendapat kalangan mazhab Al-Hanafi.
Namun menurut sebagian kalangan mazhab Hanafi, akadnya bukan atas suatu barang, namun akadnya adalah akad yang mewajibkan pihak kedua untuk mengerjakan sesuatu sesuai pesanan. Menurut yang kedua ini, yang disepakati adalah jasa bukan barang.
3.       Shighah (ijab qabul)
Ijab qabul adalah akadnya itu sendiri. Ijab adalah lafadz dari pihak pemesan yang meminta kepada seseorang untuk membuatkan sesuatu untuknya dengan imbalan tertentu. Dan qabul adalah jawaban dari pihak yang dipesan untuk menyatakan persetujuannya atas kewajiban dan haknya itu.

Syarat pada akad istishna
Dengan memahami hakekat akad istishna', kita dapat pahami bahwa akad istishna' yang dibolehkan oleh Ulama mazhab Hanafi memiliki beberapa persyaratan, sebagaimana yang berlaku pada akad salam diantaranya:
Ø  Penyebutan & penyepakatan kriteria barang pada saat akad dilangsungkan, persyaratan ini guna mencegah terjadinya persengketaan antara kedua belah pihak pada saat jatuh tempo penyerahan barang yang dipesan.
Ø  Tidak dibatasi waktu penyerahan barang. Bila ditentukan waktu penyerahan barang, maka akadnya secara otomastis berubah menjadi akad salam, sehingga berlaku padanya seluruh hukum-hukum akad salam, demikianlah pendapat Imam Abu Hanifah.
Akan tetapi kedua muridnya yaitu Abu Yusuf, dan Muhammad bin Al Hasan menyelisihinya, mereka berdua berpendapat bahwa tidak mengapa menentukan waktu penyerahan, dan tidak menyebabkannya berubah menjadi akad salam, karena demikianlah tradisi masyarakat sejak dahulu kala dalam akad istishna'. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarang penentuan waktu penyerahan barang pesanan, karena tradisi masyarakat ini tidak menyelisihi dalil atau hukum syari'at.
Ø  Barang yang dipesan adalah barang yang telah biasa dipesan dengan akad istishna'. Persyaratan ini sebagai imbas langsung dari dasar dibolehkannya akad istishna'. Telah dijelaskan di atas bahwa akad istishna' dibolehkan berdasarkan tradisi umat Islam yang telah berlangsung sejak dahulu kala.
Dengan demikian, akad ini hanya berlaku dan dibenarkan pada barang-barang yang oleh masyarakat biasa dipesan dengan skema akad istishna'. Adapun selainnya, maka dikembalikan kepada hukum asal. Akan tetapi, dengan merujuk dalil-dalil dibolehkannya akad istishna', maka dengan sendirinya persyaratan ini tidak kuat. Betapa tidak, karena akad istishna' bukan hanya berdasarkan tradisi umat islam, akan tetapi juga berdasarkan dalil dari Al Qur'an dan As Sunnah. Bila demikian adanya, maka tidak ada alasan untuk membatasi akad istishna' pada barang-barang yang oleh masyarakat biasa dipesan dengan skema istishna' saja.

d.             Penetapan waktu penyerahan istishna

Ada tiga pendapat di dalam mazhab Hanafi yang berhubungan dengan penetapan tanggal penyerahan mashnu;
Ø  Imam Abu Hanifa menolak penetapan tanggal pada masa yang akan datang untuk penyerahan mashnu' Jika suatu tanggal ditetapkan, maka kontrak berubah menjadi bai' as salam karena ini merupakan ciri dari akad yang mengikat seperti bai'as salam bukan ciri bai' al istishna’ yang terbuka atas pilihan-pilihan.
Ø   Abu Yusuf dan Muhammad bin Al Hassan Asy Syaibani, dua murid dan sahabat Abu Hanifa menerima syarat penetapan tanggal pada masa yang akan datang Alasannya, orang-orang telah mempraktekkan istishna' dengan cara seperti itu.
Ø  Tetapi Abu Hasnifa dan kedua sahabatnya bersepakat jika tanggal penyerahan dalam suatu akad istishna’ ditetapkan, dan tidak sesuai dengan apa yang lazimnya dipraktekkan, maka akad bai’ al istishna‘ tersebut berubah menjadi akad bai as salam.[16]

e.              Konsekuensi akad istishna[17]
Imam Abu Hanifah dan kebanyakan pengikutnya menggolongkan akad istishna' ke dalam jenis akad yang tidak mengikat. Dengan demikian, sebelum barang diserahkan keduanya berhak untuk mengundurkan diri akad istishna'; produsen berhak menjual barang hasil produksinya kepada orang lain, sebagaimana pemesan berhak untuk membatalkan pesanannya.
Sedangkan Abu Yusuf murid Abu Hanifah, memilih untuk berbeda pendapat dengan gurunya. Beliau menganggap akad istishna' sebagai salah satu akad yang mengikat. Dengan demikian, bila telah jatuh tempo penyerahan barang, dan produsen berhasil membuatkan barang sesuai dengna pesanan, maka tidak ada hak bagi pemesan untuk mengundurkan diri dari pesanannya. Sebagaimana produsen tidak berhak untukmenjual hasil produksinya kepada orang lain.
Menurut kami, pendapat Abu Yusuf inilah yang lebih kuat, karena kedua belah pihak telah terikat janji dengan saudaranya. Bila demikian, maka keduanya berkewajiban untuk memenuhi perjanjiannya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
المُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوطِهِمْ. رواه أبو داود والحاكم والبيهقي وصححه الألباني
"Kaum muslimin senantiasa memenuhi persyaratan mereka." ( Hadis Riwayat Abu Dawud, Al Hakim, Al Baihaqy dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albany )

f.               Penghentian kontrak istishna
Kontrak ba'i al istishna' bisa dihentikan berdasarkan kondisi- kondisi berikut ini:
1.       Dipenuhinya kewajiban secara normal oleh kedua belah pihak.
2.       Persetujuan bersama kedua belah pihak untuk menghentikan kontrak.
3.       Pembatalan hukum kontrak. Ini jika muncul sebab yang masuk akal untuk mencegah dilaksanakannya kontrak atau penyelesai- annya, dan masing-masing pihak bisa menuntut pembatalannya.

g.              Istishna paralel dan tekhnis perbankan

Dalam sebuah kontrak bai’ al-istishna’, bisa saja pembeli mengizinkan pembuat menggunakan subkontrakator untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat dapat membuat kontrak istishna’ kedua untuk memenuhi kewajibannya kepada kontrak pertama. Kontrak baru ini di kenal sebagai istishna’ pararel. Istishna’ pararel dapat dilakukan dengan syarat:(a) akad kedua antara bank dan subkontraktor terpisah dari akad pertama antara bank dan pembeli akhir dan (b) akad kedua di lakukan setelah akad pertama sah.
Akad istishna yang digunakan dalam bank syariah adalah istishna parallel, aplikasinya dipergunakan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi yang pembayarannya dapat dilakukan dalam waktu yang relatif lama. Sehingga pembayaran dapat dilakukan sekaligus atau bertahap. Ada beberapa konsekuensi saat bank Islam menggunakan kontrak pararel. Diantaranya sebagai berikut.
1.                  Bank Islam sebagai pembuat kontrak pertama tetap merupakan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksaaan kewajibannya. Istishna’ pararel atau subkontrak untuk sementara harus di anggap tidak ada. Dengan demikian sebagai shani’ pada kontrak pertama, bank tetap bertanggung jawab atas setiap kesalahan, kelalaian atau pelanggaran kontrak yang berasal dari kontrak pararel.
2.                  Penerima subkontrak pembuatan pada istishna’ pararel bertanggung jawab terhadap Bank Islam sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum secara langsung dengan nasabah pada kontrak pertama akad. Bai’ al-istishna’ kedua merupakan kontrak pararel, tetapi bukan merupakan bagian atau syarat untuk kontrak pertama. Dengan demikian kedua kontrak tersebut tidak memunyai kaitan hukum sama sekali.
3.                  Bank sebagai shani’ atau pihak yang siap untuk membuat atau mengadakan barang, bertanggungjawab kepada nasabah atas pelaksanaan subkontraktor dan jaminan yang timbul darinya. Kewjiban inilah yang membenarkan keabsahan istishna’ pararel, juga menjadi dasar bahwa bank boleh memungut keuntungan kalau ada.
Dalam buku yang dikarang oleh Dr. Muhammad Tahir Mansuri yang judulnya “Islamic Law of Contracs and Bussines Transactions” mengatakan bahwa :
Bank Islam dan Lembaga Keuangan menggunakan 'istisna sebagai model pembiayaan. Mereka membiayai pembangunan pabrik rumah di sebidang tanah milik klien. Rumah atau pabrik dibangun baik oleh pemodal sendiri atau oleh sebuah perusahaan konstruksi. Dalam kasus yang terakhir ini, bank memasuki sub-kontrakdengan perusahaan konstruksi. Tetapi jika kontrak dibuat antara bank, yaitu, pemilik modal, dan klien menyediakan secara khusus bahwa pekerjaan akan dilakukan oleh pemodal sendiri, maka sub- kontrak tidak valid. Dalam kasus seperti itu, perlu bahwa bank harus memiliki konstruksi sendiri perusahaan dan kontraktor ahli untuk melaksanakan tugas.
Pemodal dalam kontrak 'istisna bertujuan/berkewajiban untuk membangun rumah sesuai dengan spesifikasi rinci dalam perjanjian. Beberapa perjanjian tersebut mengatur bahwa pemodal akan bertanggung jawab atas setiap cacat dalam konstruksi dan penghancuran bangunan selama periode yang ditentukan dalam kontrak.
Dalam hal pemilik modal memberikan tugas konstruksi kepada pihak ketiga, perlu diingat bahwa hal itu harus mengawasi pekerjaan konstruksi secara rutin, harga konstruksi dapat dibayar oleh klien pada saat perjanjian dan dapat ditunda sampai saat selesai atau waktu lain yang disepakati kedua belah pihak. Pembayaran mungkin dalam bentuk cicilan. Dalam rangka untuk menjamin pembayaran angsuran, surat dari rumah atau tanah dapat disimpan oleh bank sebagai jaminan sampai angsuran terakhir dibayar oleh klien. Model istisna’ digunakan juga untuk menggali sumur dan air kanal. Bank syariah membiayai sector pertanian melalui model ini dan memainkan peran yang efektif dalam mengaktifkan sektor penting dari perekonomian.[18]
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia selalu berinteraksi dengan sesamanya untuk mengadakan berbagai transaksi ekonomi, salah satunya adalah jual beli yang melibatkan dua pelaku, yaitu penjual dan pembeli. Biasanya penjual adalah produsen , sedangkan pembeli adalah konsumen konsumen. Pada kenyataannya, konsumen kadang memerlukan barang yang belum di hasilkan sehingga konsumen melakukan transaksi jual beli dengan produsen dengan cara pesanan. Di dalam perbankan syariah, jual beli Istishna’ lazim di tetapkan pada bidang konstruksi dan manufaktur.

Contoh Kasus Istishna’ :
CV. Selayang Pandang yang bergerak dalam bidang pembuatan dan penjualan sepatu memperoleh order untuk memebuat sepatu anak sekolah SMU senilai RP. 60.000.000,-.dan mengajukan permodalan kepada Bank Syariah Plaju. Harga perpasang sepatu yang di ajukan adalah Rp.85.000,- dan pembayarannya di angsur selama tiga bulan. Harga perpasang sepatu di pasaran sekitar rp. 90.000,-. Dalam hal ini Bank Syariah Plaju tidak tahu berapa biaya pokok produksi. CV.Selayang Pandang hanya memberikan keuntungan Rp. 5.000,- perpasang atau keuntungan keseluruhan adalah RP. 3.529.412,-yang diperoleh dari hitungan Rp. 60.000.000/Rp. 85.000xRp. 5.000 = rp. 3.529.412.
Bank Syariah Plaju dapat menawar harga yang diajukan oleh CV. Selayang Pandang dengan harga yang lebih murah, sehingga dapat dijual kepada masyarakat dengan harga yang lebih murah pula. Katakanlah misalnya Bank Syariah Plaju menawar harga Rp. 86.000,-per pasang, sehingga masih untung Rp. 4.000,- perpasang dengan keuntungan keseluruhan adalah:
Rp. 60.000.000/Rp. 86.000xRp. 4.000 = Rp. 2.790.697[19]





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Al bai’ (jual beli) bererti pertukaran sesuatu dengan sesuatu. Secara istilah, menurut madzhab Hanafiyah, jual beli adalah pertukaran harta (mal) dengan harta dengan menggunakan cara tertentu.
Bai’ Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang di sepakati. Dalam murabahah penjual harus memberitahu harga produk yang di beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Murabahah dapat di lakuakan dengan pembelian secara pemesanan dan biasa di sebut sebagai murabahah pemesanana pembelian.
 Bai’ Salam adalah akad atas barang pesanan dengan spesifikasi tertentu yang di tangguhkan penyerahanya pada waktu tertentu dimana pembayaran dilakukan secara tunai di majlis akad.
Para imam mazhab telah bersepakat bahwasanya jual beli salam adalah benar dengan enam syarat yaitu jenis barangnya diketahui, sifat barangnya diketahui, banyaknya barang diketahui, waktunya diketahui oleh kedua belah pihak, mengetahui kadar uangnya, jelas tempat
Bai’ Istishna’ atau pemesanan secara bahasa artinya meminta di buatkan. Menurut terminologi artinya perjanjian terhadap barang jualan yang berada dalam kepemilikan penjual dengan syarat di buatkan oleh penjual, atau meminta di buatkan secara khusus sementara bahan bakunya dari pihak penjual.

B.     Saran
Demikian makalah yang kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Apabila ada saran dan kritik yang ingin di sampaikan, silahkan sampaikan kepada kami.
Apabila ada terdapat kesalahan mohon dapat mema'afkan dan memakluminya, karena kami adalah hamba Allah yang tak luput dari salah khilaf, alfa dan lupa.


DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Al-Muslih dan Shalah Ash-Shawi, “Fikih Ekonomi Keuangan Islam”, cetakan                            pertama, Jakarta, 2004, hal, 198.
Muhammad Syafii Antonio, 2001, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Gema Insani Press ,          Jakarta, hal.101.
Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syari’ah, Zikrul Hakim, Jakarta,     2003,hal.39
Sri Nurhayati dan Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2011),         hlm.172
Penjelasan Fatwa DSN MUI No.4/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murabahah.
Abd. Hadi, Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Islam, (Surabaya : Putra Media Nusantara, 2010),        hal.100
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hal. 90.
Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hal. 33.
Taqiyuddin An-Nabhani. Kepribadian Islam Jilid 2. HTI Press: 2011. Hal:484.
Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi. Fiqih Empat Madzhab. Cetakan ke-13. Hasyimi:      2010. Hal: 245.
http://kaharazisp.blogspot.com/2013/06/isthisna-a.html diakses tgl 31 agustus 2015 pukul 22.10
Dr. Muhammad Tahir Mansuri, Islamic Law of Contracs and Bussines Transactions, ( New           Delhi, 2006 ) hal 65-73



[1]Abdullah Al-Muslih dan Shalah Ash-Shawi, “Fikih Ekonomi Keuangan Islam”, cetakan pertama, Jakarta, 2004, hal, 198.
[2]Muhammad Syafii Antonio, 2001, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Gema Insani Press , Jakarta, hal.101.
[3] Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syari’ah, Zikrul Hakim, Jakarta, 2003,hal.39
[4] Ibid, Syafi’I Antonio
[5]Sri Nurhayati dan Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2011), hlm.172
[7] Penjelasan Fatwa DSN MUI No.4/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murabahah.
[8]Abd. Hadi, Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Islam, (Surabaya : Putra Media Nusantara, 2010), hal.100
[9]Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hal. 90.
[10]Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hal. 33.
[11]http://rizkyel-guaje.blogspot.com/2013/05/makalah-jual-beli-salam.html di akses tanggal 28 August 2015 pukul  11:40 wib
[12]Taqiyuddin An-Nabhani. Kepribadian Islam Jilid 2. HTI Press: 2011. Hal:484.
[13] ibid
[14]Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi. Fiqih Empat Madzhab. Cetakan ke-13. Hasyimi: 2010. Hal: 245.
[15]Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, (Jakarta : Gema Insani, 2001), hlm. 114
[16]Muhammad Syafi’i Antonio.Bank Syariah, Dari Teori ke Praktek.( Jakarta: Gema Insani,2001) hal 147
[17]http://kaharazisp.blogspot.com/2013/06/isthisna-a.html diakses tgl 31 agustus 2015 pukul 22.10
[18]Dr. Muhammad Tahir Mansuri, Islamic Law of Contracs and Bussines Transactions, ( New Delhi, 2006 ) hal 65-73
[19]Adrian Sutedi, Perbankan Syariah  Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum. (Bogor: 2006) hal 77

No comments:

Post a Comment

contact form

Name

Email *

Message *