KATA PENGANTAR
Dengan mengucap syukur ke hadirat Allah SWT. Berkat
bimbingan serta petunjuk-Nya kami bisa menyelesaikan makalah ini. Adapun judul
makalah ini adalah “Akad Murabahah, Salam dan Istishna”. Kami menyelesaikan
makalah ini untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Dosen Pembimbing dalam
mata kuliah Kegiatan Usaha Bank.
Meskipun pembuatan makalah ini telah selesai, namun kami menyadari bahwa
makalah ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu kami masih mengharapkan bimbingan dari Dosen Pembimbing, serta
kritik dan saran dari teman – teman sekalian.
Padangsidimpuan, Agustus 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................................................... 1
Daftar Isi......................................................................................................................................... 2
BAB I Pendahuluan
A. Latar
Belakang.................................................................................................................... 3
B. Rumusan
Masalah............................................................................................................... 3
C. Tujuan................................................................................................................................. 3
BAB IIPembahasan
A.
Murabahah........................................................................................................................ 4
B.
Salam................................................................................................................................ 9
C.
Istishna.............................................................................................................................. 15
BAB IIIPenutup
A. Kesimpulan......................................................................................................................... 23
B. Kritik
dan Saran ................................................................................................................. 23
Daftar Pustaka
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Fenomena jual beli dalam kehidupan
sehari-hari merupakan fenomena yang menjadi kebiasaan masyarakat. Terutama
masyarakat Indonesia yang banyak berprofesi sebagai pedagang. Jual
beli diatur juga dalam syariah islam. Akan tetapi pengetahuan masyarakat
tentang jual beli berdasarkan syariah Islam masih kurang, oleh karena itu
banyak masyarakat yang melakukan jual beli menyimpang dari syariat
Islam.
Jual beli terdiri dari dua macam,
yaitu jual beli tunai dan jual beli secara tangguh. Jual beli secara tangguh
pun terbagi lagi menjadi tiga, yaitu jual beli murabahah, salam dan istishna’.
Jual beli salam dan istishna’ sebenarnya jual beli yang serupa, hanya saja
perbedaannya terletak dari keberadaan barang yang dijadikan sebagai objek akad
dan cara pembayaran yang sedikit berbeda.
Pada makalah ini akan di bahas
ketiga akad diatas tersebut, sehinnga para pembaca khususnya penulis dapat
lebih memahami akad jual beli murabahah, salam dan istishna mengingat akad
salam maupun istishna juga sedang berkembang saat ini dengan dikenalnya jual
beli online.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa defenisi akad murabahah, salam dan istishna serta
apa landasan hukumnya serta rukun dan syarat akad tersebut ?
2.
Bagaimana tekhnis penerapan akad murabahah, salam,
dan istishna dalam perbankan syari’ah ?
C. Tujuan Perumusan
1.
Agar pembaca terutama penulis dapat memahai apa yang
dimaksud dengan akad murabahah, salam dan istishna serta mengetahui landasan
hukumnya.
2.
Agar pembaca terutama penulis memahami bagaimana
tekhnis akad murabahah, salam dan istishna dalam perbankan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
MURABAHAH
a.
Pengertian Murabahah
Kata
Murabahah secara bahasa adalah bentuk mutual (bermakna:
saling) yang diambil dari bahasa Arab, yaitu ar-ribhu (الرِبْحُ) yang berarti
kelebihan dan tambahan (keuntungan). Jadi, murabahah diartikan dengan
saling menambah (menguntungkan). Sedangkan dalam definisi para ulama
terdahulu adalah jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui.
Hakekatnya adalah menjual barang dengan harga (modal) nya yang diketahui kedua
penjual dan pembeli dengan tambahan keuntungan yang jelas.[1]
Murabahah adalah jual belibarang pada harga asal dengan tambahan
keuntungan/margin yang disepakati.
Akad
yang banyak mendapat penilaian tentang “kehalalan” pelaksanaannya adalah
murabahah, yaitu jual beli dengan harga jual terdiri dari harga beli dan
keuntungan yang sudah disepakati.[2]
Pada
murabahah, penyerahan barang dilakukan pada saat transaksi sementara
pembayarannya dilakukan secara tunai, tangguh ataupun dicicil.[3]
b.
Landasan Hukum Murabahah
Landasan
hukum akad murabahah ini adalah:
a)
Al-Quran
Ayat-ayat Al-Quran yang secara umum membolehkan jual beli,
diantaranya adalah firman Allah:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
الرِّبَا
Artinya: "..dan Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba" (QS. Al-Baqarah:275).
Ayat ini
menunjukkan bolehnya melakukan transaksi jual beli dan murabahah merupakan
salah satu bentuk dari jual beli.
Dan firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
لاَتَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً
عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ.
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama suka diantara kamu” (QS. An-Nisaa:29).
Dan firman Allah:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن
تَبْتَغُوا فَضْلاً مِّن رَّبِّكُمْ
Artinya:
“Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Rabbmu”
(QS.Al-Baqarah:198)
Berdasarkan ayat diatas, maka murabahah merupakan
upaya mencari rezki melalui jual beli.
b)
Assunnah
-
Sabda Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wassallam: “Pendapatan yang paling afdhal(utama)
adalah hasil karya tangan seseorang dan jual beli yang mabrur”.
(HR. Ahmad Al Bazzar Ath Thabrani).
-
Hadits dari
riwayat Ibnu Majah, dari Syuaib:
أَنَّ النَّبِي صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: ثَلاَثٌ فِيْهِنَّ البَرَكَة: البَيْعُ إِلىَ أَجَلٍ, وَالمُقـَارَضَة, وَ
خَلْطُ البُرّ بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَ لِلْبَيْعِ. (رَوَاهُ ابْنُ مَاجَه
”Tiga
perkara yang didalamnya terdapat keberkahan: menjual dengan pembayaran secara
tangguh, muqaradhah (nama lain dari mudharabah),
dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan tidak untuk
dijual” (HR. Ibnu Majah).
c.
Rukun dan Syarat Murabahah
a) Rukun
Murabahah
-
Penjual (Bai’)
-
Pembeli (Musytari’)
-
Barang/Obyek (Mabi’)
-
Harga (Tsaman)
-
Ijab Qabul (Sighat)
b) Syarat
Murabahah
-
Penjual memberitahu biaya modal
kepada nasabah;
-
Kontrak pertama harus sah sesuai
dengan rukun yang ditetapkan;
-
Kontrak harus bebas riba;
-
Penjual harus menjelaskan kepada
pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian;
-
Penjual harus menyampaikan semua hal
yang berkaitan dengan pembelian.[4]
d.
Tekhnis Penerapan Murabahah di
Perbankan Syari’ah
Untuk
memahami Murabahah di perbankan syari’ah maka lebih dahulu kita ketahui jenis
akad murabahah. Ada dua jenis akad murabahah, yaitu:[5]
-
Murabahah dengan pesanan (murabaha to the purchase order).
Bank
melakukan pembelian barang setelah ada
pemesanan dari Nasabah.
Skema
Murabahah dengan pesanan
Keterangan
:
1.
Nasabah bernegosiasi kepada bank
untuk melakukan pembiayaan murabahah
2.
Karena bank tidak memiliki stok
barang yang dibutuhkan nasabah, maka bank selanjutnya melakukan pembelian
barang kepada supplier/pemasok .
3.
a.Nasabah dan bank melakukan akad
murabahah.
b.Bank
melaksanakan serah terima barang.
c.barang
yang diinginkan pembeli (nasabah) selanjutnya diantar oleh pemasok (supplier)
kepada nasabah (pembeli).
4.
Setelah menerima barang, nasabah
(pembeli)selanjutnya membayar kepada bank. Pembayaran kepada bank biasanya
dilakukan dengan cara mencicil sejumlah uang tertentu selama jangka waktu yang
disepakati.
-
Murabahah tanpa pesanan murabahah jenis ini bersifat tidak mengikat.
Skema Murabahah Tanpa Pesanan
Keterangan
:
1. Kedua belah pihak melakukan akad yaitu
pihak penjual (ba’i) dan pembeli (musytari)melaksanakan akad murabahah.
2. a.
Bank menyerahkan barang kepada pembeli karena memilikinya terlebih dahulu
b. Membayar atas barang beserta margin yang telah
disepakati.
e.
Penerapan murabahah[6]
Murabahah
merupakan skim fiqh yang paling populer diterapkan dalam perbankan syariah.
Murabahah dalam perbankan syariah didefinisikan sebagai jasa pembiayaan dengan
mengambil bentuk transaski jual beli barang antara bank dengan nasabah dengan
cara pembayaran angsuran. Dalam perjanjian murabahah, bank membiayai pembelian
barang atau asset yang dibutuhkan oleh nasabahnya dengan membeli barang itu
dari pemasok barang dan kemudian
menjualnya kepada nasabah tersebut dengan menambahkan suatu mark-up atau margin
keuntungan.
Murabahah
sebagaimana yang diterapkan dalam perbankan syariah, pada prinsipnya didasarkan
pada 2 (dua) elemen pokok, yaitu harga beli serta biaya yang terkait dan
kesepakatan atas mark-up. Ciri dasar kontrak pembiayaan murabahah adalah
sebagai berikut :
a.
Pembeli harus memiliki pengetahuan tentang
biaya-biaya terkait dan harga pokok barang dan batas mark-up harus ditetapkan
dalam bentuk persentase dari total harga plus biaya-biayanya.
b.
Apa yang dijual adalah barang atau komoditas dan
dibayar dengan uang.
c.
Apa yang diperjual-belikan harus ada dan dimiliki
oleh penjual atau wakilnya dan harus mampu menyerahkan barang itu kepada
pembeli.
d.
Pembayarannya ditangguhkan.
Bank-bank
syariah umumnya mengadopsi murabahah untuk memberikan pembiayaan jangka pendek
kepada para nasabah guna pembelian barang meskipun mungkin nasabah tidak
memiliki uang untuk membayar. Kemudian Dalam prakteknya di perbankan Islam,
sebagian besar kontrak murabahah yang dilakukan adalah dengan menggunakan
sistem murabahah kepada pemesan pembelian (KPP). Hal ini dinamakan demikian
karena pihak bank syariah semata-mata mengadakan barang atau asset untuk
memenuhi kebutuhan nasabah yang memesannya. Jadi secara umum, skema dari
aplikasi murabahah ini sama dengan murabahah berdasarakan pesanan.
Bank
atau Lembaga Keuangan Syariah (BMT) bertindak sebagai penjual sementara nasabah
sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari produsen (supplier)
ditambah keuntungan. Kedua belah pihak harus menyepakati harga jual tersebut
dan jangka waktu pembayaran. Harga jual ini dicantumkan dalam akad jual beli
dan jika telah disepakati, tidak dapat berubah selama berlaku akad. Barang atau
objek harus diserahkan segera kepada nasabah, dan pembayarannya dilakukan
secara tangguh.
Terdapat juga pengembangan
dari aplikasi pembiayaan murabahah dalam bank syariah atau BMT, yaitu dalam hal
pengadaan barang. Dalam hal ini bank atau BMT menggunakan media akad wakalah
untuk memberikan kuasa kepada nasabah untuk membeli barang atas nama bank
kepada supplier atau pabrik. Skema pengembangan dengan akad wakalah dari
pembiayaan murabahah adalah sebagai berikut.
Skema
Pengembangan Murabahah
Dalam
hal ini, apabila pihak bank mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari
pihak ketiga (supplier), maka kedua pihak harus menandatangani kesepakatan
agency (agency contract), dimana pihak bank memberi otoritas kepada nasabah
untuk menjadi agennya untuk membeli komoditas dari pihak ketiga atas nama bank,
dengan kata lain nasabah menjadi wakil bank untuk membeli barang.
Kepemilikan
barang hanya sebatas sebagai agen dari pihak bank. Selanjutnya nasabah
memberikan informasi kepada pihak bank bahwa Ia telah membeli barang, kemudian
pihak bank menawarkan barang tersebut kepada nasabah dan terbentuklah kontrak
jual beli. Sehingga barang pun beralih kepemilikan menjadi milik nasabah dengan
segala resikonya.[7]
B. SALAM
a.
Pengertian Salam
Secara bahasa as-salam atau as-salaf
berarti pesanan. Secara terminologis para ulama mendefinisikannya dengan:
“Menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu (barang)
yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih awal, sedangkan barangnya
diserahkan kemudian hari”.[8]
Untuk hal ini para fuqaha (ahli hukum islam) menamainya
dengan Al-Mahawi’ij yang artinga “barang mendesak”, sebab dalam jual beli ini
barang yang menjadi objek perjanjian jual beli tidak ada ditempat, sementara
itu kedua belah pihak telah sepakat untuk melakukan pembayaran terlebih dahulu.
Secara lebih rinci salam
didefenisikan dengan bentuk jual beli dengan pembayaran dimuka dan penyerahan
barang di kemudian hari (advanced
payment atauforward buying atau future sale) dengan harga, spesifikasi, jumlah,
kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang jelas, serta disepakati sebelumnya
dalam perjanjian.[9]
b.
Landasan
Hukum Salam
a. Al-Quran
282. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
b. Al-Hadist
عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ
اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَدِمَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم اَلْمَدِينَةَ,
وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي اَلثِّمَارِ اَلسَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ, فَقَالَ: ( مَنْ
أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ, وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ,
إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَلِلْبُخَارِيِّ: مَنْ
أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ
Ibnu Abbas berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
datang ke Madinah dan penduduknya biasa meminjamkan buahnya untuk masa setahun
dan dua tahun. Lalu beliau bersabda: "Barangsiapa meminjamkan buah maka
hendaknya ia meminjamkannya dalam takaran, timbangan, dan masa tertentu."
Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Bukhari: "Barangsiapa meminjamkan
sesuatu."
وَعَنْ عَبْدِ اَلرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، وَعَبْدِ اَللَّهِ
بْنِ أَبِي أَوْفَى -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَا:( كُنَّا نُصِيبُ
اَلْمَغَانِمَ مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَكَانَ يَأْتِينَا
أَنْبَاطٌ مِنْ أَنْبَاطِ اَلشَّامِ, فَنُسْلِفُهُمْ فِي اَلْحِنْطَةِ
وَالشَّعِيرِ وَالزَّبِيبِ - وَفِي رِوَايَةٍ: وَالزَّيْتِ - إِلَى أَجَلٍ
مُسَمًّى. قِيلَ: أَكَانَ لَهُمْ زَرْعٌ? قَالَا: مَا كُنَّا نَسْأَلُهُمْ عَنْ
ذَلِك) رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ
Abdurrahman Ibnu Abza dan Abdullah Ibnu Aufa Radliyallaahu
'anhu berkata: Kami menerima harta rampasan bersama Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam Dan datanglah beberapa petani dari Syam, lalu kami beri
pinjaman kepada mereka berupa gandum, sya'ir, dan anggur kering -dalam suatu
riwayat- dan minyak untuk suatu masa tertentu. Ada orang bertanya: Apakah
mereka mempunyai tanaman? Kedua perawi menjawab: Kami tidak menanyakan hal itu
kepada mereka. (HR. Bukhari).
“Barang siapa melakukan salam, hendaknay ia melakukannya dengan
takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang
diketahui.” (HR. Bukhari Muslim)
Dari berbagai landasan di atas,
jelaslah bahwa akad salamdiperbolehkan sebagai kegiatan bemuamalah
sesama manusia.
c.
Rukun dan Syarat Salam
Syarat-syarat sahnya jual beli salam adalah sebagai berikut:[10]
1.
Pihak-pihak yang berakad disyaratkan
dewasa, berakal, dan baligh.
2.
Barang yang dijadikan obyek akad
disyaratkan jelas jenis, ciri-ciri, dan ukurannya.
3.
Modal atau uang disyaratkan harus
jelas dan terukur serta dibayarkan seluruhnya ketika berlangsungnya akad. Menurut
kebanyakan fuqaha, pembayaran tersebut harus dilakukan di tempat akad supaya
tidak menjadi piutang penjual. Untuk menghindari praktek riba melalui mekanisme
Salam.pembayarannya tidak bisa dalam bentuk pembebasan utang penjual.
4.
Ijab dan qabul harus diungkapkan
dengan jelas, sejalan, dan tidak terpisah oleh hal-hal yang dapat memalingkan
keduanya dari maksud akad.
Para imam mazhab telah bersepakat bahwasanya jual beli salam
adalah benar dengan enam syarat yaitu jenis barangnya diketahui, sifat barangnya
diketahui, banyaknya barang diketahui, waktunya diketahui oleh kedua belah
pihak, mengetahui kadar uangnya, jelas tempat penyerahannya.
Namun Imam Syafi’i menambahkan bahwa
akad salam yang sah harus memenui syarat in’iqad, syarat sah, dan
syarat muslam fiih.[11]
a) Syarat-syarat In’iqad
a. Pertama, menyatakan shigat ijab dan qabul,
dengan sighat yang telah disebutkan.
b. Kedua, pihak yang mengadakan akad cakap
dalam membelanjakan harta. Artinya dia telah baligh dan berakal karena jual
beli salam merupakan transaksi harta benda, yang hanya sah dilakukan
oleh orang yang cakap membelanjakan harta, sepertihalnya akad jual beli.
b) Syarat Sah Salam
a. Pertama, pembayaran dilakukan di majelis
akad sebelum akad disepakati, mengingat kesepakatan dua pihak sama dengan perpisahan.
Alasannya, andaikan pembayaran salam ditangguhkan,terjadilah transaksi yang
mirip dengan jual beli utang dan piutang, jikaharga berada dalam tanggungan.
Disamping itu akad salam mengandung gharar.
b. Kedua, pihak pemesan secara khusus berhak
menentukan tempat penyerahan barang pesanan, jika dia membayar ongkos kirim
barang. Jika tidak maka pemesan tidak berhak menentukan tempat penyerahan.
Apabila penerima pesanan harus menyerahkan barang itu di suatu tempat yang
tidak layak dijadikan sebagai tempat penyerahan. misalnya gurun sahara,,
atau layak dijadikan tempat penyerahan barang tetapi perlu biaya
pengangkutan, akad salam hukumnya tidak sah.
c)
Syarat Muslam
Fiih (barang pesanan)
Ada empat syarat yang harus dipenuhi
dalam barang pesanan, yaitu sebagai berikut:
a. Pertama, barang pesanan harus jelas jenis,
bentuk, kadar, dan sifatnya. Ia dapat diukur dengan karakteristik tertentu yang
membedakannya dengan barang lain dan tentu mempunyai fungsi yang
berbeda pula seperti beras tipe 101, gandum,jagung putih, jagung kuning dan
jenis barang lainnya. Barang seperti lukisan berharga dan barang-barang langka
tidak dapat dijadikan barang jual beli salam. Penyebutan
karakteristik tersebut sangat perlu dilakukan untuk menghindari ketidakjelasan
barang pesanan.
b. Kedua, barang pesanan dapat diketahui
kadarnya baik berdasarkan takaran, timbangan, hitungan perbiji, atau ukuran
panjang dengan satuan yang dapat diketahui. Disyaratkan menggunakan timbangan
dalam pemesanan buah-buahan yang tidak dapat diukur dengan takaran.‘Abdullah
ibn Mas‘ud melarang adanya kontrak salam pada binatang. Tetapi ‘Abdullah ibn
‘Umar membolehkannya jikapembayaran ditentukan pada waktu yang telah
disepakati.Hal ini menunjukkan bahwa para sahabat terus mengizinkan praktek
penjualan di muka.
c. Ketiga, barang pesanan harus berupa utang
(sesuatu yang menjadi tanggungan).
d. Keempat, barang pesanan dapat diserahkan
begitu jatuh tempo penyerahan. Barang yang sulit diserahkan tidak boleh
diperjual belikan, karena itu dilarang alam akad salam.
Hal-hal lain yang terkait dengan
transaksi salam dapat diuraikan sebagai berikut:
Ketentuan Pembiayaan Bai as-Salam sesuai
dengan Fatwa No.05/1 DSN-MUI/IV/2000 Tanggal 1 April 2000.
a.
Ketentuan Pembayaran Uang Kas:
i.
Alat bayar harus diketahui jumlah
dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat;
ii.
Dilakukan saat kontrak disepakati (inadvance);
dan
iii.
Pembayaran tidak boleh dalam
bentuk ibra’ (pembebasan utang). contoh pembeli mengatakan kepada
petani (penjual) “Saya beli padi Anda sebanyak 1 ton dengan harga Rp 10 juta
yang pembayarannya/uangnya adalah Anda saya bebaskan membayar utang Anda yang
dahulu (sebesar Rp 2 juta)”. Pada kasus ini petani memang memiliki utang yang
belum terbayar kepada pembeli, sebelum terjadinya akad salam tersebut.
iii.
Waktu dan tempat penyerahan barang
harus ditetapkan ber- dasarkan kesepakatan;
iv.
Pembeli tidak boleh menjual barang
sebelum barang tersebut diterimanya (qabadh). Ini prinsip dasar jual
beli; dan
v.
Tidak boleh menukar barang, kecuali
dengan barang sejenis sesuai kesepakatan
c.
Penyerahan Barang sebelum Tepat
Waktu:
i.
Penjual wajib menyerahkan barang
tepat waktu dengan kualitas dan kuantitas yang disepakati;
ii.
Bila penjual menyerahkan barang,
dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga;
iii.
Jika penjual menyerahkan barang
dengan kualitas lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka pembeli tidak
boleh meminta pengurangan harga (diskon); dan
iv.
Penjual dapat menyerahkan barang
lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat: kualitas dan jumlah
barang sesuai dengan kesepakatan dan tidak boleh menuntut tambahan harga.
Jika semua/sebagian barang tidak
tersedia tepat pada waktu penyerahan atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli
tidak rela menerimanya, maka pembeli memiliki dua pilihan:
1.
Membatalkan kontrak dan meminta
kembali uang.
2.
Menunggu sampai barang tersedia.
Pembatalan
kontrak boleh dilakukan selama tidak merugikan kedua belah pihak, dan jika
terjadi di antara kedua belah pihak, maka persoalannya diselesaikan melalui
pengadilan agama sesuai dengan UU No. 3/2006 setelah tidak tercapai kesepakatan
melalui musyawarah. Para pihak dapat juga memilih BASYARNAS (Badan Arbitrase
Syariah Nasional) dalam penyelesaian sengketa.Tetapi jika lembaga ini yang
dipilih dan disepakati sejak awal, maka tertutuplah peranan pengadilan agama.
d. Tekhnis
Penerapan Salam di Perbankan Syari’ah
3.Penyerahan barang di kemudian hari
1.Akad Bai’ as-Salam
2.Pembayaran di muka
As-Salam mempunyai arti
yakni seseorang yang memberikan bayaran di muka untuk mendapatkan barang yang masih
abstrak dengan jaminan bahwa ia akan menerimanya pada masa tertentu. Salam
termasuk transaksi jual beli.[12]
Dalam praktek bank syariah
di Indonesia, pembiayaan salam muncul akibat adanya permintaan barang tertentu
dengan spesifikasi yang jelas oleh nasabah pembeli kepada bank syariah selaku
penjual. Nasabah dan Bank kemudian sepakat (terjadi akad) untuk membayar harga
dan waktu tangguh untuk barang yang disepakati. Bank kemudian mencari produsen
yang sanggup untuk menyediakan barang dimaksud. Pembayaran oleh nasabah
dilakukan sebagian di awal dan sisanya sebelum barang diterima atau sisanya
diangsur.
Praktek pembiayaan salam di
beberapa bank syariah tidak terbatas pada hasil pertanian. Setiap
pembelian barang apapun yang memerlukan tahapan pemesanan, proses produksi,
serta penangguhan pengiriman dapat dilakukan akad salam.
Praktek ini tentunya harus
dicermati, sebab tidak semua jenis barang bisa dilakukan akad salam. Yang
demikian itu karena praktek as-salam adalah jual beli terhadap benda yang tidak
dimiliki dan terhadap benda yang belum sepenuhnya dimiliki. Keduanya merupakan
praktek yang terlarang, namun Salam dikecualikan dari larangan itu berdasarkan
nash yang ada. Dengan demikian, barang/benda yang padanya akan diterapkan
praktek Salam haruslah ada nash/dalilnya. Dengan merujuk pada nash-nash yang
ada, maka salam bisa dilakukan pada setiap barang yang diukur, ditimbang, dan
dihitung (al-ma’dud)[13].
Syarat tersebut juga disepakati oleh empat imam madzhab (Syafi’i, Hambali,
Hanafi, Maliki).[14]
Praktek akad salam di bank
hampir selalu dilakukan berupa salam paralel. Di mana pada akad pertama nasabah
pembeli tidak membayar uang di muka barang yang dibeli, tetapi meminta bank
untuk membiayai pengadaannya terlebih dahulu. Pada akad kedua, bank syariah
memesan barang kepada produsen dengan pembayaran di muka dan penyerahan
tangguh.
C. ISTISHNA
a.
Pengertian Istishna
Al-Istishna’ adalah akad jual beli pesanan antara pihak
produsen / pengrajin / penerima pesanan ( shani’) dengan pemesan ( mustashni’)
untuk membuat suatu produk barang dengan spesifikasi tertentu (mashnu’)
dimana bahan baku dan biaya produksi menjadi tanggungjawab pihak produsen
sedangkan sistem pembayaran bisa dilakukan di muka, tengah atau akhir.
Secara umum landasan syariah yang berlaku pada bai’ as-salam
juga berlaku pada bai’ al-istishna’. Menurut Hanafi, bai’
al-istishna’ termasuk akad yang dilarang karena mereka mendasarkan
pada argumentasi bahwa pokok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki oleh
penjual, sedangkan dalam istishna’, pokok kontrak itu belum ada atau
tidak dimiliki penjual. Namun mazhab Hanafi menyutui kontrak istishna’ atas
dasar istishan.[15]
Mazhab Hanafi Menyetujui kontrak
Istishna’ atas dasar Istihsan karena alasan-alasan berikut ini :
a)
Masyarakat
telah mempraktekkan bai’ al-Istishna’ secara luas dan terus menerus tanpa ada
keberatan sama sekali. Hal demikian menjadikan bai’ al-istishna sebagai kasus
ijma’ atau konsensus umum.
c)
Di dalam
Syariah di mungkinkan adanya penyimpangan terhadap qiyas berdasarkan ijma’
ulama.
d)
Keberadaan
bai’ al-istishna’ di dasarkan atas kebutuhan masyarakat. Banyak orang
seringkali memerlukan barang yang tidak tersedia di pasar sehingga mereka
cenderung untuk melakukan kontrak agar orang lain membuatkan barang untuk
mereka.
e)
Bai’
al-istishna’ sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama tidak
bertentangan dengan nash atau aturan syariah.
Sebagian
Fuqaha kontemporer berpendapat bahwa bai’ al-istishna’ adalah sah atas dasar
qiyas dan aturan umum syariah karena itu memang jual beli biasa dan si penjual
akan mampu mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan. Demikian juga
terjadinya kemungkinan perselisihan atas jenis dan kualitas suatu barang dapat
di minimalkan dengan pencantuman spesifikasi dan ukuran-ukuran serta bahan
material pembuatan barang tersebut.
b.
Dasar Hukum Istishna
Hukum transaksi bai’ istishna’ terdapat dalam
Al-Qur’an dan Al-Hadits.
a) Al-Qur’an
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا
Allah telah menghalalkan jual-beli
dan mengharamkan riba. (Qs. Al Baqarah: 275)
Berdasarkan ayat ini dan lainnya
para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali
yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih.
b)
Al-hadits
عَنْأَنَسٍ رضي الله عنه أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ ص
كَانَأَرَادَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى الْعَجَمِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ الْعَجَمَ
لاَيَقْبَلُونَ إِلاَّ كِتَابًا عَلَيْهِ خَاتِمٌ. فَاصْطَنَعَ خَاتَمًا
مِنْفِضَّةٍ.قَالَ:كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِهِ فِى يَدِهِ. رواه مسلم
Dari Anas RA
bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab, lalu dikabarkan
kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi menerima surat yang tidak
distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari
bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan
kemilau putih di tangan beliau." (HR. Muslim)
c.
Rukun dan Syarat istishna
Akad istishna' memiliki 3 rukun yang
harus terpenuhi agar akad itu benar-benar terjadi yaitu, kedua-belah pihak,
barang yang diakadkan dan shighah (ijab qabul).
1. Kedua-belah pihak
Kedua-belah pihak maksudnya
adalah pihak pemesan yang diistilahkan dengan mustashni' (المستصنع) sebagai pihak
pertama. Pihak yang kedua adalah pihak yang dimintakan kepadanya pengadaaan
atau pembuatan barang yang dipesan, yang diistilahkan dengan sebutan shani' (الصانع).
2. Barang yang diakadkan
Barang yang diakadkan atau disebut
dengan al-mahal (المحل) adalah rukun
yang kedua dalam akad ini. Sehingga yang menjadi objek dari akad ini
semata-mata adalah benda atau barang-barang yang harus diadakan. Demikian
menurut umumnya pendapat kalangan mazhab Al-Hanafi.
Namun menurut sebagian kalangan
mazhab Hanafi, akadnya bukan atas suatu barang, namun akadnya adalah akad yang
mewajibkan pihak kedua untuk mengerjakan sesuatu
sesuai pesanan. Menurut yang kedua ini, yang disepakati adalah jasa bukan
barang.
3. Shighah (ijab qabul)
Ijab qabul adalah akadnya itu
sendiri. Ijab adalah lafadz dari pihak pemesan yang meminta kepada seseorang
untuk membuatkan sesuatu untuknya dengan imbalan tertentu. Dan qabul adalah
jawaban dari pihak yang dipesan untuk menyatakan persetujuannya atas kewajiban
dan haknya itu.
Syarat
pada akad istishna
Dengan memahami hakekat akad
istishna', kita dapat pahami bahwa akad istishna' yang dibolehkan oleh Ulama
mazhab Hanafi memiliki beberapa persyaratan, sebagaimana yang berlaku pada akad
salam diantaranya:
Ø Penyebutan
& penyepakatan kriteria barang pada saat akad dilangsungkan, persyaratan
ini guna mencegah terjadinya persengketaan antara kedua belah pihak pada saat
jatuh tempo penyerahan barang yang dipesan.
Ø Tidak
dibatasi waktu penyerahan barang. Bila ditentukan waktu penyerahan barang, maka
akadnya secara otomastis berubah menjadi akad salam, sehingga berlaku padanya
seluruh hukum-hukum akad salam, demikianlah pendapat Imam Abu Hanifah.
Akan tetapi kedua muridnya yaitu Abu
Yusuf, dan Muhammad bin Al Hasan menyelisihinya, mereka berdua berpendapat
bahwa tidak mengapa menentukan waktu penyerahan, dan tidak menyebabkannya
berubah menjadi akad salam, karena demikianlah tradisi masyarakat sejak dahulu
kala dalam akad istishna'. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarang
penentuan waktu penyerahan barang pesanan, karena tradisi masyarakat ini tidak
menyelisihi dalil atau hukum syari'at.
Ø Barang
yang dipesan adalah barang yang telah biasa dipesan dengan akad istishna'.
Persyaratan ini sebagai imbas langsung dari dasar dibolehkannya akad istishna'.
Telah dijelaskan di atas bahwa akad istishna' dibolehkan berdasarkan tradisi
umat Islam yang telah berlangsung sejak dahulu kala.
Dengan
demikian, akad ini hanya berlaku dan dibenarkan pada barang-barang yang oleh
masyarakat biasa dipesan dengan skema akad istishna'. Adapun selainnya, maka
dikembalikan kepada hukum asal. Akan tetapi, dengan merujuk dalil-dalil
dibolehkannya akad istishna', maka dengan sendirinya persyaratan ini tidak
kuat. Betapa tidak, karena akad istishna' bukan hanya berdasarkan tradisi umat
islam, akan tetapi juga berdasarkan dalil dari Al Qur'an dan As Sunnah. Bila
demikian adanya, maka tidak ada alasan untuk membatasi akad istishna' pada
barang-barang yang oleh masyarakat biasa dipesan dengan skema istishna' saja.
d.
Penetapan waktu penyerahan istishna
Ada tiga pendapat di dalam mazhab Hanafi yang
berhubungan dengan penetapan tanggal penyerahan mashnu;
Ø Imam
Abu Hanifa menolak penetapan tanggal pada masa yang akan datang untuk
penyerahan mashnu' Jika suatu tanggal ditetapkan, maka kontrak berubah menjadi
bai' as salam karena ini merupakan ciri dari akad yang mengikat seperti bai'as
salam bukan ciri bai' al istishna’ yang terbuka atas pilihan-pilihan.
Ø Abu Yusuf dan Muhammad bin Al Hassan
Asy Syaibani, dua murid dan sahabat Abu Hanifa menerima syarat penetapan
tanggal pada masa yang akan datang Alasannya, orang-orang telah mempraktekkan
istishna' dengan cara seperti itu.
Ø Tetapi
Abu Hasnifa dan kedua sahabatnya bersepakat jika tanggal penyerahan dalam suatu
akad istishna’ ditetapkan, dan tidak sesuai dengan apa yang lazimnya
dipraktekkan, maka akad bai’ al istishna‘ tersebut berubah menjadi akad bai as
salam.[16]
e.
Konsekuensi akad istishna[17]
Imam Abu Hanifah dan kebanyakan
pengikutnya menggolongkan akad istishna' ke dalam jenis akad yang tidak
mengikat. Dengan demikian, sebelum barang diserahkan keduanya berhak untuk
mengundurkan diri akad istishna'; produsen berhak menjual barang hasil
produksinya kepada orang lain, sebagaimana pemesan berhak untuk membatalkan
pesanannya.
Sedangkan Abu Yusuf murid Abu
Hanifah, memilih untuk berbeda pendapat dengan gurunya. Beliau menganggap akad
istishna' sebagai salah satu akad yang mengikat. Dengan demikian, bila telah
jatuh tempo penyerahan barang, dan produsen berhasil membuatkan barang sesuai
dengna pesanan, maka tidak ada hak bagi pemesan untuk mengundurkan diri dari
pesanannya. Sebagaimana produsen tidak berhak untukmenjual hasil produksinya
kepada orang lain.
Menurut kami, pendapat Abu
Yusuf inilah yang lebih kuat, karena kedua belah pihak telah terikat janji
dengan saudaranya. Bila demikian, maka keduanya berkewajiban untuk memenuhi
perjanjiannya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
المُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوطِهِمْ.
رواه أبو داود والحاكم والبيهقي وصححه الألباني
"Kaum muslimin senantiasa memenuhi persyaratan
mereka." ( Hadis Riwayat Abu Dawud, Al Hakim, Al Baihaqy dan
dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albany )
f.
Penghentian kontrak istishna
Kontrak ba'i al istishna' bisa dihentikan berdasarkan
kondisi- kondisi berikut ini:
1. Dipenuhinya
kewajiban secara normal oleh kedua belah pihak.
2. Persetujuan
bersama kedua belah pihak untuk menghentikan kontrak.
3. Pembatalan
hukum kontrak. Ini jika muncul sebab yang masuk akal untuk mencegah
dilaksanakannya kontrak atau penyelesai- annya, dan masing-masing pihak bisa
menuntut pembatalannya.
g.
Istishna paralel dan tekhnis
perbankan
Dalam sebuah kontrak bai’
al-istishna’, bisa saja pembeli mengizinkan pembuat menggunakan subkontrakator
untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat dapat membuat
kontrak istishna’ kedua untuk memenuhi kewajibannya kepada kontrak pertama.
Kontrak baru ini di kenal sebagai istishna’ pararel. Istishna’ pararel dapat
dilakukan dengan syarat:(a) akad kedua antara bank dan subkontraktor terpisah
dari akad pertama antara bank dan pembeli akhir dan (b) akad kedua di lakukan
setelah akad pertama sah.
Akad istishna yang digunakan
dalam bank syariah adalah istishna parallel, aplikasinya dipergunakan pada
pembiayaan manufaktur dan konstruksi yang pembayarannya dapat dilakukan dalam
waktu yang relatif lama. Sehingga pembayaran dapat dilakukan sekaligus atau
bertahap. Ada beberapa konsekuensi saat bank Islam menggunakan kontrak
pararel. Diantaranya sebagai berikut.
1.
Bank Islam sebagai pembuat kontrak pertama
tetap merupakan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksaaan
kewajibannya. Istishna’ pararel atau subkontrak untuk sementara harus di anggap
tidak ada. Dengan demikian sebagai shani’ pada kontrak pertama, bank tetap
bertanggung jawab atas setiap kesalahan, kelalaian atau pelanggaran kontrak
yang berasal dari kontrak pararel.
2.
Penerima subkontrak pembuatan pada
istishna’ pararel bertanggung jawab terhadap Bank Islam sebagai pemesan. Dia
tidak mempunyai hubungan hukum secara langsung dengan nasabah pada kontrak
pertama akad. Bai’ al-istishna’ kedua merupakan kontrak pararel, tetapi bukan
merupakan bagian atau syarat untuk kontrak pertama. Dengan demikian kedua
kontrak tersebut tidak memunyai kaitan hukum sama sekali.
3.
Bank sebagai shani’ atau pihak yang
siap untuk membuat atau mengadakan barang, bertanggungjawab kepada nasabah atas
pelaksanaan subkontraktor dan jaminan yang timbul darinya. Kewjiban inilah yang
membenarkan keabsahan istishna’ pararel, juga menjadi dasar bahwa bank boleh memungut
keuntungan kalau ada.
Dalam buku yang
dikarang oleh Dr. Muhammad Tahir
Mansuri yang judulnya “Islamic Law of Contracs and Bussines Transactions”
mengatakan bahwa :
Bank Islam dan Lembaga Keuangan
menggunakan 'istisna sebagai model pembiayaan. Mereka membiayai pembangunan
pabrik rumah di sebidang tanah milik klien. Rumah atau pabrik dibangun baik
oleh pemodal sendiri atau oleh sebuah perusahaan konstruksi. Dalam kasus yang
terakhir ini, bank memasuki sub-kontrakdengan perusahaan konstruksi. Tetapi jika
kontrak dibuat antara bank, yaitu, pemilik modal, dan klien menyediakan secara
khusus bahwa pekerjaan akan dilakukan oleh pemodal sendiri, maka sub- kontrak
tidak valid. Dalam kasus seperti itu, perlu bahwa bank harus memiliki
konstruksi sendiri perusahaan dan kontraktor ahli untuk melaksanakan tugas.
Pemodal dalam kontrak 'istisna
bertujuan/berkewajiban untuk membangun rumah sesuai dengan spesifikasi rinci
dalam perjanjian. Beberapa perjanjian tersebut mengatur bahwa pemodal akan
bertanggung jawab atas setiap cacat dalam konstruksi dan penghancuran bangunan
selama periode yang ditentukan dalam kontrak.
Dalam hal pemilik modal memberikan
tugas konstruksi kepada pihak ketiga, perlu diingat bahwa hal itu harus
mengawasi pekerjaan konstruksi secara rutin, harga konstruksi dapat dibayar
oleh klien pada saat perjanjian dan dapat ditunda sampai saat selesai atau
waktu lain yang disepakati kedua belah pihak. Pembayaran mungkin dalam bentuk
cicilan. Dalam rangka untuk menjamin pembayaran angsuran, surat dari rumah atau
tanah dapat disimpan oleh bank sebagai jaminan sampai angsuran terakhir dibayar
oleh klien. Model istisna’ digunakan juga untuk menggali sumur dan air kanal.
Bank syariah membiayai sector pertanian melalui model ini dan memainkan peran
yang efektif dalam mengaktifkan sektor penting dari perekonomian.[18]
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
manusia selalu berinteraksi dengan sesamanya untuk mengadakan berbagai
transaksi ekonomi, salah satunya adalah jual beli yang melibatkan dua pelaku,
yaitu penjual dan pembeli. Biasanya penjual adalah produsen , sedangkan pembeli
adalah konsumen konsumen. Pada kenyataannya, konsumen kadang memerlukan barang
yang belum di hasilkan sehingga konsumen melakukan transaksi jual beli dengan
produsen dengan cara pesanan. Di dalam perbankan syariah, jual beli Istishna’
lazim di tetapkan pada bidang konstruksi dan manufaktur.
Contoh Kasus Istishna’ :
CV. Selayang Pandang yang bergerak dalam bidang pembuatan
dan penjualan sepatu memperoleh order untuk memebuat sepatu anak sekolah SMU
senilai RP. 60.000.000,-.dan mengajukan permodalan kepada Bank Syariah Plaju.
Harga perpasang sepatu yang di ajukan adalah Rp.85.000,- dan pembayarannya di
angsur selama tiga bulan. Harga perpasang sepatu di pasaran sekitar rp.
90.000,-. Dalam hal ini Bank Syariah Plaju tidak tahu berapa biaya pokok
produksi. CV.Selayang Pandang hanya memberikan keuntungan Rp. 5.000,- perpasang
atau keuntungan keseluruhan adalah RP. 3.529.412,-yang diperoleh dari hitungan
Rp. 60.000.000/Rp. 85.000xRp. 5.000 = rp. 3.529.412.
Bank Syariah Plaju dapat menawar
harga yang diajukan oleh CV. Selayang Pandang dengan harga yang lebih murah,
sehingga dapat dijual kepada masyarakat dengan harga yang lebih murah pula.
Katakanlah misalnya Bank Syariah Plaju menawar harga Rp. 86.000,-per pasang,
sehingga masih untung Rp. 4.000,- perpasang dengan keuntungan keseluruhan
adalah:
Rp. 60.000.000/Rp. 86.000xRp. 4.000 = Rp. 2.790.697[19]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al bai’ (jual beli)
bererti pertukaran sesuatu dengan sesuatu. Secara istilah, menurut madzhab
Hanafiyah, jual beli adalah pertukaran harta (mal) dengan harta dengan menggunakan
cara tertentu.
Bai’ Murabahah adalah jual beli
barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang di sepakati. Dalam
murabahah penjual harus memberitahu harga produk yang di beli dan menentukan
suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Murabahah dapat di lakuakan
dengan pembelian secara pemesanan dan biasa di sebut sebagai murabahah
pemesanana pembelian.
Bai’ Salam adalah akad atas
barang pesanan dengan spesifikasi tertentu yang di tangguhkan penyerahanya pada
waktu tertentu dimana pembayaran dilakukan secara tunai di majlis akad.
Para imam mazhab telah bersepakat bahwasanya jual beli salam
adalah benar dengan enam syarat yaitu jenis barangnya diketahui, sifat
barangnya diketahui, banyaknya barang diketahui, waktunya diketahui oleh kedua
belah pihak, mengetahui kadar uangnya, jelas tempat
Bai’ Istishna’ atau pemesanan
secara bahasa artinya meminta di buatkan. Menurut terminologi artinya
perjanjian terhadap barang jualan yang berada dalam kepemilikan penjual dengan
syarat di buatkan oleh penjual, atau meminta di buatkan secara khusus sementara
bahan bakunya dari pihak penjual.
B. Saran
Demikian makalah yang kami buat, semoga dapat
bermanfaat bagi pembaca. Apabila ada saran dan kritik yang ingin di sampaikan,
silahkan sampaikan kepada kami.
Apabila ada terdapat kesalahan mohon dapat mema'afkan dan memakluminya, karena kami adalah hamba Allah yang tak luput dari salah khilaf, alfa dan lupa.
Apabila ada terdapat kesalahan mohon dapat mema'afkan dan memakluminya, karena kami adalah hamba Allah yang tak luput dari salah khilaf, alfa dan lupa.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Al-Muslih dan Shalah
Ash-Shawi, “Fikih Ekonomi Keuangan Islam”, cetakan pertama, Jakarta,
2004, hal, 198.
Muhammad Syafii Antonio, 2001, Bank
Syariah Dari Teori ke Praktik, Gema Insani Press , Jakarta, hal.101.
Sunarto
Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syari’ah, Zikrul Hakim, Jakarta, 2003,hal.39
Sri
Nurhayati dan Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba
Empat, 2011), hlm.172
Penjelasan Fatwa DSN MUI No.4/DSN-MUI/IV/2000
Tentang Murabahah.
Abd. Hadi,
Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Islam, (Surabaya : Putra Media Nusantara,
2010), hal.100
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2011), hal. 90.
Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hal.
33.
http://rizkyel-guaje.blogspot.com/2013/05/makalah-jual-beli-salam.html
di akses tanggal 28 August
2015 pukul 11:40 wib
Taqiyuddin An-Nabhani. Kepribadian
Islam Jilid 2. HTI Press: 2011. Hal:484.
Muhammad bin ‘Abdurrahman
ad-Dimasyqi. Fiqih Empat Madzhab. Cetakan ke-13. Hasyimi: 2010. Hal: 245.
http://kaharazisp.blogspot.com/2013/06/isthisna-a.html
diakses tgl 31 agustus 2015 pukul 22.10
Dr. Muhammad Tahir Mansuri,
Islamic Law of Contracs and Bussines Transactions, ( New Delhi, 2006 ) hal 65-73
[1]Abdullah
Al-Muslih dan Shalah Ash-Shawi, “Fikih Ekonomi Keuangan Islam”, cetakan
pertama, Jakarta, 2004, hal, 198.
[2]Muhammad
Syafii Antonio, 2001, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Gema Insani
Press , Jakarta, hal.101.
[3] Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syari’ah,
Zikrul Hakim, Jakarta, 2003,hal.39
[4] Ibid, Syafi’I Antonio
[5]Sri Nurhayati dan Wasilah,
Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2011), hlm.172
[7] Penjelasan Fatwa DSN MUI No.4/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murabahah.
[8]Abd.
Hadi, Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Islam, (Surabaya : Putra Media
Nusantara, 2010), hal.100
[9]Ascarya, Akad
dan Produk Bank Syariah, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2011), hal. 90.
[10]Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hal.
33.
[11]http://rizkyel-guaje.blogspot.com/2013/05/makalah-jual-beli-salam.html
di akses tanggal 28 August 2015 pukul
11:40 wib
[12]Taqiyuddin An-Nabhani.
Kepribadian Islam Jilid 2. HTI Press: 2011. Hal:484.
[13] ibid
[14]Muhammad bin ‘Abdurrahman
ad-Dimasyqi. Fiqih Empat Madzhab. Cetakan ke-13. Hasyimi: 2010. Hal: 245.
[15]Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah Dari
Teori ke Praktik, (Jakarta : Gema Insani, 2001), hlm. 114
[16]Muhammad Syafi’i Antonio.Bank Syariah, Dari Teori ke
Praktek.( Jakarta: Gema Insani,2001) hal 147
[17]http://kaharazisp.blogspot.com/2013/06/isthisna-a.html
diakses tgl 31 agustus 2015 pukul 22.10
[18]Dr. Muhammad Tahir Mansuri, Islamic Law
of Contracs and Bussines Transactions, ( New Delhi, 2006 ) hal 65-73
[19]Adrian Sutedi, Perbankan Syariah Tinjauan dan Beberapa Segi
Hukum. (Bogor: 2006) hal 77
No comments:
Post a Comment