KATA PENGANTAR
Dengan mengucap syukur ke hadirat Allah SWT. Berkat
bimbingan serta petunjuk-Nya kami bisa menyelesaikan makalah ini. Adapun judul
makalah ini adalah “BMT (BAitul Mal Wat Tamwil”. Kami menyelesaikan makalah ini
untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Dosen Pembimbing dalam mata kuliah
Lembaga Keuangan Syari’ah Non Bank.
Meskipun pembuatan makalah ini telah selesai, namun kami menyadari bahwa
makalah ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu kami masih mengharapkan bimbingan dari Dosen Pembimbing, serta
kritik dan saran dari teman – teman sekalian.
Padangsidimpuan, Juni 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................................................... 1
Daftar Isi......................................................................................................................................... 2
BAB
I
Pendahuluan
A. Latar
Belakang.................................................................................................................... 3
BAB
II
Pembahasan
A.
Pengertian
Baitul Mal Wa Tamwil.................................................................................... 4
B.
Sejarah
dan Perkembangan BMT di Indonesia................................................................ 5
C.
Dampak Perkembangan dan Pertumbuhan BMT di Indonesia........................................ 6
D.
Kendala...................................................................................................................................................................... 6
E.
Penghimpunan
dan Penyaluran Dana BMT...................................................................... 7
F.
Problematika BMT............................................................................................................ 7
G.
Peran BMT
Sebagai Lembaga Keuangan Syariah Terhadap Perekonomian
Masyarakat........................................................................................................................ 8
BAB
III
A. Kesimpulan......................................................................................................................... 11
B. Saran............................................................................................................................................................................... 11
Penutup
Daftar
Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam merupakan ajaran yang Syamil (universal), kamil (sempurna),
dan mutakamil(menyempurnakan) yang diberikan oleh Allah yang
diangkat sebagai Khalifah (pemimpin) di bumi ini yang berkewajiban
untuk memakmurkannya baik secara material maupun secara spiritual dengan
landasan aqidah dan syari’ah yang masing masing akan melahirkan peradaban yang
lurus dan akhlaqul karimah (perilaku mulia).
Islam dalam menentukan suatu
larangan terhadap aktivitas duniawiyah tentunya memberi hikmah yang akan
memberikan kemaslahatan, ketenangan dan keselamatan hidup didunia maupun di
akhirat. Namun demikian, Islam tidak melarang begitu saja kecuali di sisi lain
ada alternatif konsepsional maupun operasional yang diberikannya.
Misalnya saja larangan terhadapriba, alternatif
yang diberikan Islam dalam rangka rrienghapus riba dalam
praktek mu’amalahyang dilakukan manusia melalui dua jalan. Jalan
yang pertama, berbentuk shadaqah ataupunqardhul hasan (pinjaman
tanpa adanya kesepakatan kelebihan berupa apapun pada saat pelunasan) yang
rnerupakan solusi bagi siapa saja yang melakukan aktivitas riba untuk
keperluan biaya hidup (konsumtif) ataupun usaha dalam skala mikro. Sedangkan
jalan yang kedua adalah melalui sistem perbankan Islam yang didalamnya
menyangkut perighimpunan dana melalui tabungan mudharubah, deposito musyawarah dan
giro wadiah yang kemudian disalurkan melalui pinjaman dengan
prinsip tiga hasil (seperti mudharabah, musyarakah),prinsip jual
beli (bai’ bithaman ajil, mudarabah dan
sebagainya) serta prinsip sewa/fee(Ijarah, bai’at takjiri dan
lain-lain). Dari kedua jalan di atas, secara sistematik diatur dan dikelola
melalui kelembagaan yang dalam istilah Islam disebut Baitul Maal wat
Tamwil.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Baitul Mal Wa Tamwil
Baitul mal wa tamwil adalah lembaga keuangan mikro
yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil, menumbuhkembangkan bisnis usaha
mikro dan kecil dalam rangka mengangkat martabat dan serta membela
kepentingan kaum fakir miskin. Secara konseptual, BMT memiliki dua fungsi Baitul
Tamwil (Bait = Rumah, At Tamwil =
Pengembangan Harta). Jadi BMT adalah balai usaha mandiri terpadu yang isinya
berintikan bayt al-mal wa al-tamwildengan kegiatan mengembangkan
usaha-usaha proktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegitan ekonomi
pengusaha bawah dan kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan
menunjang pembiayaan kegiatan.[1]
Menurut Muhammad Ridwan, BMT
merupakan kependekan dari Baitul Mal wa Tamwil. Lembaga ini merupakan
gabungan dari dua fungsi, yaitu baitul mal atau rumah dana serta baitul
tamwil atau rumah usaha.[2]
Baitul mal telah dikembangkan sejak zaman Nabi Muhammad SAW sebagai lembaga
yang bertugas untuk mengumpulkan sekaligus membagikan (tashoruf) dana
sosial, seperti zakat, infak dan shodaqoh (ZIS). Sedangkan baitu tamwil
merupakan lembaga bisnis keuangan yang berorientasi laba.
Baitul mal wa tamwil atau pendanaan balai usaha mandiri terpadu adalah lembaga
ekonomi atau keuangan mikro yang dioperasikan berdasarkan prinsip bagi hasil
dan disebut sebagai lembaga keuangan syariah non perbankan yang sifatnya
informal. Disebut informal karen alembaga ini dibentuk atau didirikan oleh
kelompok swadaya masyarakat (KSM) yang berbeda dengan lembaga keuangan
perbankan dan lembga keuangan formal lainnya. Sebagai lembaga keuangan ia
bertugas menghimpun dana dari masyarakat (anggota BMT) dan menyalurkan dana
kepada masyarakat (anggota BMT) . sebagai lembaga ekonomi ia juaga berhak
melakukan kegiatan ekonomi, seperti perdagangan, industri, dan pertanian.
Dengan begitu, BMT dikelola secara
profesional sehingga mencapai tingkat efiiensi ekonomi tertentu, demi
mewujudkan kesejahteraan anggota, seiiring penguatan kelembagaan BMT itu
sendiri. Pada sudut pandang sosial, BMT (dalam hal ini baitul mal)
berorientasi pada peningkatan kehidupan anggota yang tidak mungkin dijangkau
dengan prinsip bisnis. Stimulan melalui dana ZIS akan mengarahkan anggota untuk
mengembangkan usahanya, untuk pada akhirnya mampu mengembangkan dana bisnis.
B.
Sejarah dan Perkembangan BMT di
Indonesia
Sejarah BMT ada di Indonesia,
dimulai tahun 1984 dikembangkan mahasiswa ITB di Masjid Salman yang mencoba
menggulirkan lembaga pembiayaan berdasarkan syari’ah bagi usaha kecil. Kemudian
BMT lebih di berdayakan oleh ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) sebagai
sebuah gerakan yang secara operasional ditindaklanjuti oleh Pusat Inkubasi
Bisnis Usaha Kecil (PINBUK).
BMT membuka kerjasama dengan lembaga
pemberi pinjaman dan peminjam bisnis skala kecil dengan berpegang pada prinsip
dasar tata ekonomi dalam agama Islam yakni saling rela, percaya dan tanggung
jawab, serta terutama sistem bagi hasilnya. BMT terus berkembang. BMT akan
terus berproses dan berupaya mencari trobosan baru untuk memajukan perekonomian
masyarakat, karena masalah muammalat memang berkembang dari waktu ke waktu. BMT
begitu marak belakangan ini seiring dengan upaya umat untuk kembali berekonomi
sesuai syariah dan berkontribusi menanggulangi krisis ekonomi yang melanda Indonesia
sejak tahun 1997. Karena prinsip penentuan suka rela yang tak memberatkan,
kehadiran BMT menjadi angin segar bagi para nasabahnya. Itu terlihat dari
operasinya yang semula hanya terbatas di lingkungannya, kemudian menyebar ke
daerah lainnya. Dari semua ini, jumlah BMT pada tahun 2003 ditaksir 3000-an
tersebar di Indonesia, dan tidak menutup kemungkinan pertumbuhan BMT pun akan
semakin meningkat seiring bertambahnya kepercayaan masyarakat.
Seperti halnya lembaga keuangan syariah yang lainnya BMT
dala kegiatan operasionalnya menggunakan 3 prinsip, yaitu:
1. Prinsip
bagi hasil
a)
Mudharabah
b)
Musyarakah
c)
Muzara’ah
d)
Musaqah
2. Jual
beli dengan margin (keuntungan);
a)
Murabahah
b)
Ba’i As-Salam
c)
Ba’i Al-Istisna
3. Sistem
profit lainnya;
Kegiatan operasional dalam menghimpun dana dari masyarakat
dapat berbentuk giro wadi’ah, tabungan mudharabah, Deposito investasi
mudharabah, Tabungan haji, Tabungan Qurban.
Baitul Mal Wa Tamwil suatu lembaga keuangan mikro
syariah yang digerakan awal tahun sembilan puluhan oleh para aktivis muslim
yang resah melihat keberpihakan ekoonomi negara yang tidak berpihak
kepada elaku ekonomi kecil dan menengah.[3]
C.
Dampak
Perkembangan dan Pertumbuhan BMT di Indonesia
1. Membangkitkan usaha mikro di kalangan masyarakat menengah
ke bawah.
2. Membantu
masyarakat dalam hal simpan pinjam.
3. Meningkatkan taraf hidup melalui mekanisme kerja sama
ekonomi dan bisnis
4. Dengan adanya BMT maka tidak terjadi penimbunan uang
karena uang terus berputar
5. Memperluas
lapangan pekerjaan khususnya didalam sector riil.
D.
Kendala
1. BMT
masih kurang di kenal oleh masyarakat luas, sehingga jumlah nasabahnya pun
tidak terlalu banyak
2. Kurang promosi terhadap lembaga itu sendiri, maka
Kepercayaan masyarakat terhadap BMT masih kurang
3. Mayoritas orang – orang kota mempunyai rasa gengsi untuk
menabung dalam jumlah kecil
E.
Penghimpunan dan Penyaluran Dana BMT
1.
Penghimpunan dana
Penghimpunan dana BMT diperoleh
melalui simpanan, yaitu dana yang dipercayakan oleh nasabah kepada BMT untuk disalurkan
kesektor produktif dalam bentukk pembiayaan. Simpanan ini dapat berbentuk
tabungan wadi’ah, simpanan mdharabah jangka pendek dan jangka panjang.
2. Penyaluran
dana
Penyaluran dana BMT kepada nasabah terdiri atas dua jenis:
a)
Pembiayaan dengan sistem bagi hasil
b)
Jual beli dengan pembayaran
ditangguhkan
Pembiayaan merupakan penyaluran dana
BMT kepada pihak ketiga berdasarkan kesepakatan pembiayaaan antara BMT dengan
pihak lain dengan jangka waktu tertentu dan nisbah bagi hasil yang disepakati.
Pembiayaan dibedakan menjadi pembiayaan musharabah dan musyarakah. Penyaluran
dana dalam bentuk jual beli dengan pembayaran ditangguhkan adalah penjualan
barang dari BMT kepada nasabah, dengan harga ditetapkan sebesar biaya perolehan
ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati untuk keuntungan BMT.[5]
F.
Problematika BMT
Dengan segala kekurangan, kelebihan,
keunggulan dari BMT, problematika tetap saja ada, antara lain :
1.
Modal
Modal yang relatif kecil menjadi
permasalahan yang setiap saat ada pada BMT. Didukung dengan perputaran modal
yang belum tentu kembali 100 % untuk BMT. Diperlukan adanya suntikan dana yang
cukup baik dari pemerintah atau pihak-pihak yang tertarik untuk berinvestasi di
BMT.
2.
Kredit Macet
Lambatnya angsuran yang diterima
oleh BMT menjadi alasan yang klasik bagi BMT. Persoalan ini sudah menjadi
santapan tiap terjadi akad-akad pembiayaan walaupun tidak semua peminjam selalu
bermasalah.
3.
Likuiditas
Dengan modal yang relatif kecil dan
diharuskan terjadi perputaran untuk memperoleh laba, di samping dana pihak
ketiga juga ikut diputar agar dana yang disimpan memperoleh bagi hasil, maka
BMT akan mengalami permasalahan likuiditas jika tidak dapat memenuhi permintaan
uang oleh nasabah.
4.
Pangsa Pasar
Pasar yang digarap oleh BMT (Dana
Mentari) adalah terbatas lingkup kabupaten, sehingga jika diambil sebuah
analisis, di kabupaten Banyumas tidak terdapat industri-industri yang besar
sehingga kurang mendukung adanya BMT sebagai intermediasi. Selain itu, pangsa
pasar di Purwokerto sudah terbatas karena saat ini banyak bank yang sudah masuk
ke dalam kegiatan ekonomi skala kecil.
G.
Peran BMT Sebagai Lembaga Keuangan
Syariah Terhadap Perekonomian Masyarakat
Hernandi de Soto dalam bukunya The
Mystery of Capital (2001) menggambarkan betapa besarnya sektor ekonomi informal
dalam memainkan perannya dalam aktivitas ekonomi di negara berkembang. Ia juga
mensinyalir keterpurukan ekonomi di negara berkembang disebabkan ketidakmampuan
untuk menumbuhkan lembaga permodalan bagi masyarakatnya yang mayoritas pengusaha
kecil.
Indonesia misalnya, adalah negara
berkembang yang jumlah pengusaha kecilnya mencapai 39.04 juta jiwa. Namun para
pengusaha kecil tersebut tidak memiliki akses yang signifikan ke lembaga
perbankan, sebagai lembaga permodalan. Lembaga-lembaga perbankan belum bisa
menjangkau kebutuhan para pengusaha kecil, terutama di daerah dan pedesaan.
Belum adanya lembaga keuangan yang
menjangkau daerah perdesaan (sektor pertanian dan sektor informal) secara
memadai yang mampu memberikan alternatif pelayanan (produk jasa) simpan-pinjam
yang kompatibel dengan kondisi sosial kultural serta ‘kebutuhan’ ekonomi
masyarakat desa menyebabkan konsep BMT (Baitul Mal wat Tamwil) dapat
‘dihadirkan’ di daerah kabupaten kota dan bahkan di kecamatan dan
perdesaan.
Konsep BMT sebagai lembaga keuangan
mikro syari’ah, merupakan konsep pengelolaan dana (simpan-pinjam) di
tingkat komunitas yang sebenarnya searah dengan konsep otonomi daerah yang
bertumpu pada pengelolaan sumber daya di tingkat pemerintahan (administrasi) terendah
yaitu desa.
Mengutip formulasi Bambang Ismawan
(1994) tentang lembaga keuangan mikro, maka setidaknya terdapat
beberapa hal yang diperankan BMT dalam otonomi daerah :
1.
Mendukung pemerataan pertumbuhan
Pelayanan BMT secara luas dan
efektif sehingga akan terlayani berbagai kelompok usaha mikro. Perkembangan
usaha mikro yang kemudian berubah menjadi usaha kecil, hal ini akan
memfasilitasi pemerataan pertumbuhan.
2.
Mengatasi kesenjangan kota dan desa
Akibat jangkauan BMT yang luas, bisa
meliputi desa dan kota, hal ini merupakan terobosan pembangunan. Harus diakui,
pembangunan selama ini acap kali kurang adil pada masyarakat desa, sebab lebih
condong mengembangkan kota. Salah satu indikatornya adalah dari derasnya arus
urbanisasi dan pesatnya perkembangan keuangan mikro yang berkemampuan
menjangkau desa, tentu saja akan mengurangi kesenjangan desa dan kota.
3.
Mengatasi kesenjangan usaha besar
dan usaha kecil
Sektor yang selama ini mendapat
akses dan kemudahan dalam mengembangkan diri adalah usaha besar, akibatnya
timbul jurang yang lebar antara perkembangan usaha besar dan semakin tak
terkejar oleh usaha kecil. Dengan dukungan pembiayaan usaha kecil, tentunya hal
ini akan mengurangi kesenjangan yang terjadi.
4.
Mengurangi capital outflow
Perkembangan kota-kota besar yang
sedemikian pesat, semakin meninggalkan pertumbuhan daerah-daerah pedesan.
Lembaga keuangan mikro syari’ah BMT lebih berkemampuan memfasilitasi agar
tabungan dari masyarakat desa atau daerah terkait, dapat memanfaatkan kembali
tabungan yang telah mereka kumpulkan.
5.
Meningkatkan kemandirian daerah
Dengan adanya faktor-faktor produksi
(capital, tanah, SDM) yang merupakan kekuatan dimiliki oleh daerah,
dimanfaatkan dan didayagunakan sepenuhnya untuk memanfaatkan berbagai peluang
yang ada, maka ketergantungan terhadap investasi dari luar daerah (maupun luar
negeri) akan terkurangi, serta investasi ekonomi rakyat, dapat berkembang
pesat.
Adanya pemerataan pertumbuhan,
terjadinya keseimbangan pertumbuhan kota dan desa, berkurangnya kesenjangan
usaha besar-usaha kecil, tentunya hal ini akan mengurangi kemungkinan
ketidakstabilan daerah. Kecemburuan sosial dengan sendirinya akan terkurangi,
sebab adanya kesejahteraan yang merata akan menimbulkan multiplier effect
maupun interdependensi antar satu bagian dengan bagian yang lain.
Era otonomi daerah merupakan peluang
untuk memberdayakan ekonomi rakyat dengan memanfaatkan lembaga keuangan mikro
syariah BMT. Melalui keuangan mikro syariah, kebangkitan ekonomi rakyat
(sekaligus ekonomi nasional) maupun pengurangan kemiskinan, akan dilakukan oleh
rakyat sendiri. Memang telah tiba saatnya, masyarakat menemukan jalannya
sendiri untuk mengatasi persoalan yang mereka hadapi.[6]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
BMT adalah aktor-aktor daerah yang sangat
berperan penting dalam pengembangan Dalam era otonomi daerah,. Sebab
bagaimanapun juga, untuk memfasilitasi pengembangan keuangan mikro syariah
tersebut, diperlukan suasana yang kondusif, misalnya dukungan
peraturan-peraturan yang memfasilitasi pengembangannya maupun melindungi
keuangan mikro itu sendiri, bukan malahan menghambat atau mematikannya. Tentu
aturan merupakan satu faktor untuk pengembangan keuangan mikro, faktor lain
adalah para pelaku maupun stakeholders yang terlibat di daerah.
B.
Saran
Demikian
makalah yang kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Apabila ada saran
dan kritik yang ingin di sampaikan, silahkan sampaikan kepada kami.
Apabila ada terdapat kesalahan mohon dapat mema'afkan dan memakluminya, karena kami adalah hamba Allah yang tak luput dari salah khilaf, alfa dan lupa.
Apabila ada terdapat kesalahan mohon dapat mema'afkan dan memakluminya, karena kami adalah hamba Allah yang tak luput dari salah khilaf, alfa dan lupa.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul, aziz dan Mariyah, ulfah, Kapita Selekta Ekonomi Islam
Kontemporer(Bandung: Alfabeta,2010),h.
115
Hertanto, widodo Dkk, panduan praktis operasional baitul mal
wa tamwil (Bandung: Mizan, 2000),
h. 83
Ridwan,
Muhammad. 2004. Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil. Yogyakarta: UII Press.
[1]Abdul, aziz dan Mariyah, ulfah, Kapita Selekta Ekonomi Islam
Kontemporer(Bandung: Alfabeta,2010),h. 115
[2] Muhammad Ridwan.
2004. Manajemen Baitul Mal Wa Tamwil. Yogyakarta: UII Press. Hal: 125
[5]Hertanto, widodo Dkk, panduan
praktis operasional baitul mal wa tamwil (Bandung: Mizan, 2000), h. 83